Oalaaaah...Agus...Agus...berguru ke negeri jiran, Gus!!

Suatu sore, di hari Minggu (28/12). Seorang kawan mengajak ketemu di sebuah resto di kawasan Taman Ria Senayan Jakarta. Sambil nunggu si kamrad sumber, aku pun otak-atik dunia maya, lumayan mumpung free hot spot.

Dus, datanglah empat orang pria dan 2 wanita duduk di sebelah mejaku. Mereka saling cas cis cus ria bercengkerama. Dari dialeknya, sudah terduga kalau 3 pria diantara mereka adalah orang negeri sebelah Malaysia. “Makan apa?” seorang bertanya. “Tak. Minum hangat boleh,” jawab satunya.

Si kamrad sumber pun datang. “Sorry terlambat,” katanya. “Padahal gak ada macet ya?” kataku. “Hahaha...sialan, loe..,” jawabnya. Kami pun ngobrol. Ternyata dia punya cerita soal dana semi hibah jutaan dollar dari luar negeri yang gak jelas peruntukannya di tanah air. “Wah, aku juga sempat dapat cerita & data soal dana hibah 60juta dolar yang katanya buat penyokong pelaksanaan good governance, eh malah diembat buat biaya politik.”

Singkat cerita, salah seorang pria malay di sebelah meja kami pun bersapa. “Pak, kami hendak beli souvenir khas Jakarta. Untuk bingkisan pulang ke KL. Kami ndak pergi ke mana ndak tahu. Ah...boleh infokan kami, Pak?”

Rupanya, para pak cik itu besok sore mau pulang ke Kuala Lumpur dan bingung mencari souvenir khas Jakarta buat oleh-oleh. Celakanya, kami yang mereka tanya pun sama bingungnya. “Emang ada pusat souvenir khas Jakarta di kota ini?” pertanyaan kami berdua sama. Lha, wong Jakarta hanya berisi Mall, Supermall, Hyper market, shopping center, food corner, cafe dan sejenisnya.... “Kalau mau cari shopping center dengan sajian barang paling mewah di dunia, di Jakarta banyak, pak Cik,” batinku. Ah, sialan. Memalukan kalau tak bisa jawab.

Si Pak Cik Malay itu pun mencontohkan souvenir kaki lima kayak di China Town, di sudut kota Kuala Lumpur. “Harga tak mahal,” katanya.


Aku pun teringat saat beberapa bulan lalu sempat ikut training (tugas kantor) di Kuala Lumpur. Saat mau pulang, kami mengunjungi China Town yang diceritakan pak Cik. Di situ, memang pusat souvenir khas Kuala Lumpur. Dari mulai gantungan kunci, korek, kaos, baju, travelling bag, back packer, arloji, patung, guci....Ah, sudahlah... pokoknya sembarang kalir souvenir bergambar simbol-simbol kota Kuala Lumpur ada di pusat kaki lima China Town itu.

Saat kami beli dan menawar beberapa souvenir di China Town, para pedagang pun tak mau menurunkan harga. “Dari mana? Indon? Jakarta-kah?” tanya seorang pegadang korek api. “Ah, tak usah tawar-tawar, orang Jakarta kaya-kaya, banyak duit. Awak punya pembeli macam orang Jakarta, sekali beli awak kirim berkarung-karung. Orang Jakarta kaya-kaya, orang Jakarta itu rumah satu, kereta empat,” kata si penjual korek berlogo menara kembar Petronas.
Sama komentarnya dengan Pak Cik di Taman Ria Senayan. “Jakarta hebat, kota modern, maju. Kereta di jalan baru-baru semua. Tak ada kereta lama sini. Lama sikit jual,” kata Pak Cik. “Ah, nggaklah, pasti lebih maju KL,” kata sumberku. “Ndak, pak. Pertumbuhan KL sedang-sedang saja. Jakarta amat pesat. Coba macam orang KL punya bas (bus ejaan bahasa inggris-red), orang Jakarta tak punya. Dia punya bis, bukan bas. Tapi, Jakarta punya basway (bus way), kami tak punya,” Pak Cik dan kami semua tergelak tawa.

Kembali ke cita-cita para pak Cik beli souvenir khas Jakarta. “Pak, coba bapak ke Pasar Festival di Jalan Rasuna Said Kuningan. Di sana banyak juga handycraft khas Indonesia. Kalau pasar khusus souvenir Jakarta nggak ada di Jakarta,” kataku. “Siapa tahu di sana juga ada yang jual kaos bertuliskan Jakarta, bergambar Monas,” imbuhku.

Cerita punya cerita, si pak cik nih rupanya baru keliling di beberapa daerah di Indonesia. Dia lagi diutus oleh seorang company untuk menjajaki potensi kebun pohon jarak di beberapa daerah Indonesia. Mereka mendengar kebijakan biofuel di Indonesia sempat dicanangkan tapi kemudian tindak lanjutnya belum maksimal. Banyak petani yang kadung menanam lahannya dengan Jarak, katanya bingung menjual minyak jaraknya ke mana.

“Kami ada amanah toke di KL melacak potensi kebun jarak di Indonesia. Kami hendak beli minyak dari mereka petani kebun-kebun jarak tuh. Pada masanya nanti kami ndak buka lahan kebun jarak di Malaysia,” si pak Cik nerocos. Untuk kedua kalinya: sialan!

Ingatanku langsung tertuju pada pengakuan seorang pengusaha perkebunan kelapa sawit di perkebunan Lahad Dato, Sabah, Malaysia tahun 2002 silam. Saat itu, si pengusaha kami wawancarai terkait heboh TKI Ilegal dipulangkan lewat Nunukan. Kami nerobos masuk Malaysia bersama ribuan TKI lewat Nunukan menuju Tawau.

Si pengusaha itu bilang, mereka sangat ketakutan kalau ancaman pemerintah RI akan menarik semua TKI-nya di Malaysia benar-benar menjadi kenyataan. Sekadar mengingatkan, saat itu, Malaysia tengah gencar melancarkan operasi TKI ileggal dan berencana mendeportasi ratusan ribu TKI itu ke Indonesia. Dan, pemerintah RI saat itu bereaksi dengan mengancam semua TKI di Malaysia ditarik.

Kenapa mereka para pengelola perkebunan sawit di kawasan Sabah Serawak takut akan ancaman itu? Kata si pengusaha Sabah itu, hampir 100% tenaga kerja perkebunan sawit di seluruh wilayah Sabah-Serawak Malaysia adalah orang Indonesia. Mereka bekerja dari mulai membabat hutan belantara hingga akhirnya panen dan menjadikan Malaysia penghasil CPO terbesar di dunia, menggeser posisi Indonesia. Jadi, “bayangkan kalau semua TKI ditarik, kami di sini bangkrut semua,” aku si pengusaha itu. “Tak usah dua tiga bulan, dua pekan saja mereka balik Indonesia semua, drop perekonomian Malaysia,” lanjutnya.

Ketakutan kedua para pemilik perkebunan sawit Malaysia adalah terkait kemungkinan langkah pemerintah RI pasca heboh operasi TKI ilegal saat itu. “Kami takut, benar-benar takut kalau pemerintah awak (Indonesia) buat macam program membuka lahan sawit. Apapun, kami berguru kepada Indonesia soal budidaya kebun sawit. Tak perlu banyak-banyak. Indonesia tanam sawit di ujung utara Kalimantan saja, habis kami semua,” kata si pengusaha itu lagi. “Kenapa?” tanyaku. “Pasti orang-orang pekerja asal Indonesia lebih pilih bekerja di negerinya sendiri, tak mau lagi mereka ke Malaysia,” jawabnya. “Tapi, kami beruntung, nampak Indonesia lebih suka bakar-bakar hutan daripada tanam sawit,” tambahnya sambil tertawa. Jangkrik. Ketiga kalinya: sialan..!!

“Indonesia negara besar yang hebat dan kaya, Pak,” suara pak Cik di Taman Ria Senayan itu tiba-tiba memotong ingatanku ke Lahad Dato. “Bila kemajuan beberapa kota merata di Indonesia macam Jakarta, Indonesia lebih hebat lagi,” lanjut pak Cik.

Ah, aku jadi ingat Pak Ramli. Seorang senior journalist radio dari RTM Serawak. Bukankah itu pula nada pertanyaan Pak Ramli padaku saat break makan siang di pelatihan jurnalistik di KL beberapa bulan lalu?” batinku.

Sambil minum kopi, Pak Ramli mendekat ke arahku. Setelah basa-basi ngalor ngidul, Pak Ramli pun bercerita pengalamannya mengunjungi kota-kota besar di Indonesia. “Pak, saya takjub dengan Kota Jakarta yang pesat. “Coba pikir, Pak. Di sini (Malaysia), macam mobil Toyota Unser (sebutan merk toyota kijang kapsul di Malaysia) sudah termasuk mobil mahal. Mewah. Sikit orang Malaysia bisa beli Unser, cuma yang benar-benar kaya. Saya terkejut pertama kali datang dan keluar dari bandara Jakarta. Mobil di sana (Jakarta), Unser (kijang) semua!!” kata Pak Ramli.

Kalau soal itu, Pak Ramli sih ada benarnya. Alphard aja udah sama banyaknya ame Bajaj Bajuri di Jakarta. Coba bandingkan dengan mobil yang beredar di jalanan KL yang lebih banyak diisi oleh mobil-mobil kecil ala Daihatsu Ceria, Proton dan sejenisnya. Umurnya pun banyak yang sudah agak tua. Mobil toyota twincam, grand civic banyak beredar di KL. Mobil mewah semacam Audi, Mercy, Jaguar yang begitu mbelatak di Jakarta, sangat jarang terlihat di jalanan KL.

“Saya sudah ke kota-kota lain di Indonesia. Medan, Banda Aceh, Palembang, Jogja, Surabaya, Balikpapan, Samarinda, Makassar. Tapi, Pak, Maaf bukan maksud mau mengejek atau apa, kenapa pembangunan Indonesia hanya tertuju ke Kota Jakarta? Kota-kota yang lain semacam terabaikan. Menurut pak Rahmat, kenapa bisa begitu? Maaf, pak. Bukan maksud macam ngejek atau apa ya?” tanya Pak Ramli. “Sebab, perbedaannya kan jauh sekali, Pak. Macam kami di sini, banyak kota di Malaysia relatif sama kondisi pembangunannya,” lanjutnya. “Bila dalam 5 tahun sekali Indonesia bangun ekonomi satu daerah saja, sudah berapa daerah maju pesat sekarang?” ujarnya lagi. Artinya, menurut Pak Ramli, kemajuan kota dengan segala infra strukturnya bisa menjadi salah satu indikasi melajunya pertumbuhan ekonomi di wilayah itu.

Bicara pembangunan infrastruktur kota, aku jadi ingat saat ketakjubanku pertama kali menginjakan kaki di kota Tawau, 2002 lalu. Aku takjub bukan lantaran banyak Toyota Unser seperti Pak Ramli. Dan, perbedaan kota Tawau dan Nunukan –yang notabene keduanya menjadi pintu gerbang atau semacam etalase memasuki wilayah negara masing-masing- nyatanya terbukti bak surga dan neraka.

Saat itu, kami bertandang ke Tawau dari pelabuhan Nunukan, Kalimantan Timur. Terpaksa kami naik kapal kayu berbendera Indonesia lantaran kapal speedboat (yang di jalur penyeberangan Nunukan-Tawau hampir 90% adalah milik Malaysia) baru ada di sore hari.

Sesampainya di Tawau, kami pun terkesima. Masuk wilayah pelabuhan yang sangat rapi, modern, bersih, serta komputerisasi maksimal di pemeriksaan para penumpang. Mewah! Kami semakin takjub saat pertama kali keluar dari pintu pelabuhan Tawau. Jalan aspal hotmix tanpa lobang menganga lebar dan lurus memanjang ke arah pusat kota Tawau. Tak jauh dari pelabuhan, terdapat pusat jajanan rakyat dan cafe resto yang tak kalah sumringahnya dengan kawasan jajan FX di Senayan itu. Kanan kiri berjejer infrastruktur kota nan rapi dan megah. Pemerintah Malaysia benar-benar menjadikan Tawau sebagai etalase pintu gerbang memasuki wilayah negeri mereka. Dengan segala fasilitas dan kemajuannya, Tawau benar-benar menyambut para tamu: Selamat Datang di Malaysia.

Lantas, bagaimana suasana saat kami pulang menuju Nunukan? Masuk pelabuhan Nunukan nampak sudah potret kesuraman sebuah kantor pelayanan publik yang tidak terawat. Tanah becek beralaskan papan menjadi fasilitas para penumpang yang baru keluar Kapal menuju pelabuhan. Lorong pemeriksaan penumpang hanya dihiasi besi-besi tua berkarat tak jelas modelnya. Bangunan pelabuhan pun sudah tak layak berdiri. Begitu keluar dari pintu pelabuhan Nunukan, kita akan disuguhi suasana gersang berdebu dengan aura penuh kemiskinan, keterbelakangan dan kesemrawutan.

“Pak, terimakasih, sudah banyak cakap kami ni... ndak pergi ke Pasar Festival,” pak Cik di Taman Ria itu pun pamit. “Ah, apa cakap orang ni... Oalaaaah, Agus..Agus... belajar ke negeri jiran, Gus...!!”

Read more...

Jakarta Tempo Doeloe








Read more...

Jakarta Stag 2010?

Read more...