DARI AKSI FBI HINGGA RUSUH ABEPURA

Tanah ini saya punya tubuh
Gunung Nemangkawa ini Jangtungku
Danau Wonangon ini saya punya sum-sum
Kali ini saya punya nafas
Tetapi Kao sudah Makan saya
Kao tidak punya hati dan perasaan
Freeport dan Pemerintah, kamu sudah makan saya
Tidak sadarkah kamu ?
(Ungkapan Tangisan Mama Yosepha Alomang)

Siapa tak kenal satuan detektif investigasi, Polisi Federal Amerika Serikat bernama FBI (Federal Bureau of Investigation) di negeri ini? Jangan heran, bila banyak orang di tanah air tahu persis bagaimana cara biro itu dalam menyelidiki sebuah kejahatan di negeri Paman Sam, Amerika Serikat. Setidaknya, aksi mereka yang kerapkali menjadi cerita di film-film keluaran Hollywood.

Nah, pada 6 Januari 2006, tim khusus FBI datang ke tanah air kita. Persisnya, di Timika, Kabupaten Mimika, Papua. Kedatangan mereka ke Papua, tentu saja bukan untuk shooting film Hollywood. Tapi, membela koleganya, PT Freeport Indonesia, untuk sebuah penyidikan kasus yang –tentu saja- merugikan kepentingan politik dan bisnis mereka di Papua.

Asal muasalnya begini. Pada 31 Agustus 2002 silam, terjadi insiden penembakan di mile 62, Timika Papua. Mile 62 adalah bagian dari daerah penambangan Freeport, yang dikenal warga setempat memiliki pengamanan sangat ketat dan dijaga berlapis oleh aparat keamanan kita, TNI dan Polri. Rombongan orang-orang Freeport di mile 62 itu, dihadang sekelompok orang tak dikenal, ketika hendak melintas dari Timika menuju Tembagapura. Tiga orang tewas akibat insiden ini, dua orang warga Amerika yakni Ricky Lyyn Spier dan Ted Burgon, serta FX Bambang Riwanto, warga Indonesia.

Dus, berita tewasnya dua warga Amerika ini pun langsung mendunia. Tak hanya Freeport yang marah akibat insiden itu. Tapi Mister Goerge Walker Bush, atas nama pemerintah Amerika Serikat, mengutuk keras kejadian itu.

Empat tahun lalu, kepolisian RI sempat menyelidiki insiden mile 62 ini. Hasilnya? Laporan awal yang dibuat polisi saat itu, mengarah pada keterlibatan oknum militer Indonesia. Temuan itu didukung oleh pengakuan Ms Patsy Spier, seorang Amerika yang selamat.

Nah, kembali soal kedatangan FBI di Timika. Tim penyidik itu datang untuk menyidik tuntas kasus tersebut. Saat pertama datang, FBI melalui Willi Mandowen dan Eltinus Omaleng meminta pendeta Ishak Onawame dan Markus Kelabetme, bisa mengumpulkan sejumlah orang papua termasuk Keli Kwalik, untuk bertemu FBI di Kuala Kencana, Timika. Sebelum akhirnya, pertemuan dialihkan ke Hotel Amole II, Timika Papua.

FBI berjanji, kasus insiden mile 62 akan diselesaikan di Amerika. Dan, Ishak cs akan langsung di bawa ke Amerika untuk membongkar semua yang terjadi apa adanya. Alasan FBI, nggak mungkin kasus itu dibongkar di Mimika.

Tapi, apa lacur? Sekitar pukul 21.45, pada 11 Januari 2006, setelah Ishak dan 11 orang temannya yang beranggapan akan dibawa ke Amerika itu berkumpul di hotel Amole II, mereka langsung digelandang pake mobil container ke kantor Polsek Kuala Kencana. Di sana, pasukan anti huru-hara Brimob, telah siap mengawal ketat mereka untuk membawa ke Jayapura. Sebelum akhirnya, empat orang dibebaskan dan delapan lainnya diterbangkan ke Jakarta. Mereka adalah Hardi Tsugumol, Agustinus Anggaibak, Markus Kalabetme, Yohanes Kasemol, Yulianus Deikme, Jerius Kiwak, Pdt Isak Onawame dan Anthonius Wamang. Kedelapan orang itulah yang kini ditetapkan sebagai tersangka kasus insiden tewasnya dua warga Amerika.

Sejak penangkapan itulah, suhu politik Papua kembali menghangat. Gelombang aksi unjuk rasa yang menamakan diri Solidaritas Tragedi Freeport, Front Anti Militer yang sebagian besar adalah mahasiswa dan aktifis Papua itu, mereka gelar di Jayapura dan Jakarta. Mereka mendesak FBI dan POLRI membebaskan delapan warga papua yang dijadikan tersangka.

Tidak hanya itu. Yang menarik, pada 16 Januari 2006, Asosiasi Australia-West Papua, sebuah LSM yang bermarkas di Spit Junction, Sidney Australia, berkirim surat kepada yang mulia Menteri Luar Negeri Australia, Alexander Downer.

Mau tahu isi suratnya? Begini. Surat yang diteken Joe Collins selaku sekretaris LSM itu, menceritakan awal mula delapan orang papua yang ditangkap POlri dan FBI. Dalam surat yang ditembuskan ke sejumlah anggota parlemen dan senator Australia serta berbagai lembaga HAM itu, mereka juga mendesak Menlu Australia untuk menggunakan hubungan baik dengan pemerintah Indonesia agar melobi untuk mengembalikan delapan orang papua itu ke Papua.

Alasannya, karena militer Indonesia telah dikenal menggunakan insiden-insiden seperti itu untuk menghantam kelompok-kelompok yang mereka namakan separatis. “Kami juga mendesak Anda (Menlu Australia-red) untuk mendesak pemerintah Indonesia agar mengontrol militernya di Provinsi Papua dan untuk mendesak penguasa Indonesia agar menjamin bahwa mereka yang ditahan itu tidak akan disiksa atau HAM mereka yang lain dilanggar,” begitu kira-kira yang tertulis dalam surat itu.

Jadi, jangan heran kalau negeri kanguru pimpinan Mister John Howard itu, baru-baru ini dengan enteng mengeluarkan ijin visa tinggal, bagi 43 warga Papua yang meminta suaka politik. Kenapa? Ya, jelas, Australia berkepentingan dengan Papua, persisnya potensi pengelolaan kekayaan alam nan melimpah ruah di Gunung Kemakmuran bernama Papua.


Serangkaian peristiwa sebelum bentrok Abepura

Yang pasti, penangkapan delapan warga papua itulah, pemicu memanasnya suhu politik Papua. Teriak protes pun mengarah pada membongkar segala kerusuhan masa lampau yang tak sedikit telah menewaskan warga Papua.

Sebuah ketidakadilan kembali terjadi bila dunia melihat tewasnya dua warga Amerika Serikat sebagai kasus besar. Setidaknya, itulah sikap Solidaritas Rakyat Papua untuk Kasus Mile 72 Mimika, yang dikomandani Markus Haluk. Sejak akhir tahun 2005 hingga Januari 2006, kata Haluk, telah terjadi serangkaian insiden yang membawa korban luka dan tewas dari kalangan warga sipil Papua.

Diantaranya insiden 10 Januari 2006, di Desa Wesaput, Wamena. Saat itu, menurut data Haluk, telah terjadi penganiayaan oleh tiga oknum kepolisian yang mengakibatkan kematian Obet Kosay. Lalu ada pula kejadian oknum anggota Brimob yang menyiksa seorang guru di Kabupaten Wasior.

Tidak hanya itu. Pada tanggal 20 Januari 2006 bertempat di Distrik Wahgete Paniai, Papua, menurut mereka, TNI dan Polri kembali melakukan tindakan represif terhadap empat orang rakyat sipil yang tidak berdosa. Mereka yang menjadi korban masing-masing Moses Douw (14 tahun-siswa SMP Negeri Wahgete, meninggal dunia), Yunike Kotouki (18 tahun-Pelajar luka tempat pada paha kanan), Petrus Pekey (43 tahun- pemuda, mengalami luka tembak pada rusuk kanan), dan Melianus Douw yang mengalami luka memar. Kejadian serupa terjadi saat terjadi bentrok antara warga Kampung Kali Baru dan banti, 14 Februari 2006, saat aparat kepolisian dan security Freeport menggelar sweeping atau penertiban penambang liar di aliran limbah bijih emas. Akibat kejadian itu, selain korban luka dari aparat kepolisian, beberapa rakyat sipil Papua yang tak berdosa kembali lagi menjadi korban. Diantaranya Yulianus Murip Nico Magai, Juniter Waker dan Welinus Alom.

Sebelum akhirnya, aksi unjuk rasa warga yang memblokade jalan, disambut gelombang aksi unjuk rasa kelompok mahasiswa dan sejumlah ormas yang menolak keberadaan Freeport di Papua. Aksi tolak Freeport itu pun kian memuncak saat terjadi insiden bentrok aparat dan massa di Abepura, 16 Maret lalu, yang menelan empat korban jiwa dari aparat keamanan.

Comments :

0 komentar to “DARI AKSI FBI HINGGA RUSUH ABEPURA”