Lontaran Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono ihwal adanya scenario yang bakal men-Santa Cruz-kan Papua, tak ada salahnya kita waspadai. Bukan apa-apa. Sebagai bentuk kewaspadaan kita sebagai bangsa berdaulat, tak ada salahnya pula kalau kita telusuri sejumlah indikasi adanya upaya besar untuk meng-go international-kan bumi Papua.
Pertama, coba kita runut ke belakang soal kedatangan sejumlah LSM internasional dan orang asing ke tanah Papua, dalam kurun waktu tiga tahun terakhir. Mulai tahun 2002, tercatat banyak kunjungan orang asing ke Papua. Sebutlah Staf Kedubes AS Steven Hargove beserta tiga orang staf Freeport, datang berkunjung ke Polda Papua, empat belas perwakilan Uni Eropa juga berkunjung untuk memonitor otonomi dan HAM. Dubes AS saat itu Ralph L Boyce bersama enam orang stafnya melakukan rangkaian pertemuan dengan Pemda, tokoh masyarakat, akademisi dan warga Amerika di Papua.
Masih ada lagi. Laurence Gillois (Political Adviser Komisi Eropa), datang menawarkan program kesehatan, pengelolaan ekonomi, peningkatan manajemen di Papua. Mr Berna Weidick dari Jerman berkunjung untuk berbicara masalah sidnas politik dan keamanan.
Gerakan lewat seminar
Seminar dengan tema West Papua Futures telah diselenggarakan oleh The Globalisasi Institute, Royal Melbourne Institute of Technology (RMIT) dan New Internationalst Magazine di Victoria Trade Hill, Australia, pada tanggal 25-26 Februari 2003. Seminar itu dihadiri 70 peserta yang umumnya aktivis HAM, Lingkungan Hidup dan organisasi buruh, serta orang-orang yang memiliki orientasi politik tertentu. Hadir sebagai pembicara dalam seminar itu, antara lain Chris Richards (New International Magazine). John Rumbiak (Superpisor ELS-HAM), Kei Dummet (Australian West Papua Association), Senator Bob Brow (Ketua Partai Green), Senator Andrew Bartlett (Ketua Partai Demokrat) dan Jason Mc Lead (Free West Papua Collective). Sebuah Seminar yang telah direncanakan untuk kampanye Papua Merdeka. Untungnya, KBRI di Canberra, jauh-jauh hari telah mengajukan keberatan kepada Pemerintah Australia. Seminar pun batal.
Jakob Trummer, seorang peneliti Belanda berusaha untuk masuk Indonesia, tetapi permohonan visanya ditolak. Dia adalah salah satu orang asing yang berusaha dengan dalih penelitian. Jakob Trummer adalah kepanjangan tangan Prof Drooglever yang memanfaatkan dana proyek EC (European Commission) di Papua, dengan melaksanakan penelitian Act of Free Choice/Pepera tahun 1969, upaya terselubung ini sebenarnya untuk mendukung peningkatan SDM di Papua.
Frederik Athaboe, pemegang paspor Belanda, dan telah beberapa kali masuk Indonesia dengan alasan dalam rangka penelitian dan evaluasi pemanfaatan beasiswa untuk pelajar dan mahasiswa Papua, tapi juga memanfaatkan fasilitas BVKS untuk tujuan lain, membangun jaringan Papua Merdeka. Selain itu, Pemerintah Indonesia melalui KBRI di Canberra telah mengirimkan nota diplomatik kepada Pemerintah Vanuatu, untuk menyatakan sikap resminya atas informasi tentang telah diresmikannya pembukaan Kantor Rakyat Papua, pada tanggal 22 Maret 2003 di Port Villa Vanuatu.
Zone of PeaceIde membangun zona damai di Papua ini didukung oleh 12 anggota Kongres AS, seperti: Congressmen Christ Opher Smith (R New Jersey), Lincola Diaz Balard (R Florida), Lane Doan (D Ulionis), Janice Schkowsky (D-Ulionions), Dennis Rucinich (R-Ohio), Joseph Hoeffei (D-Pennsylvania), Edri Blumenawer (D-Otegon), Barney Frank (D-Massachusetts), Joseph Crowley (D-New York), Loyd Doggett (D-Texas).
Mereka mengirim surat kepada Presiden RI, menyambut positif atas dibentuknya zona damai sebagai satu jalan keluar permasalahan Papua. Yang pasti, Zone of Peace ini dideklarasikan oleh aktivis Dewan Presidium Papua pada bulan Desember 2002, yang disambut baik oleh NGO HAM di AS. Gagasan tersebut kemudian disosialisasikan oleh LSM dalam negeri. Amerika tentu saja berkepentingan agar Papua tetap utuh dibawah pangkuan NKRI. Alasannya? Kekuasaannya atas eksplorasi kekayaan alam Papua, bisa tetap dipertahankan.
Terakhir, tanpa alasan yang jelas, kebijakan politik Australia langsung memberi ijin visa tinggal kepada 43 warga Papua. Di sisi lain, Australia menjamin Indonesia bahwa Papua tetap NKRI.
Yang jelas, menurut analis geo politik Dirgo D Purbo, Australia sangat mengincar pengalihan atau menambah peran pengelolaan kekayaan alam Papua yang kini masih dikuasai Amerika Serikat. Apes-apesnya, kekuatan non Amerika ini akan menaikan bargaining kepada Amerika agar bersedia mengalihkan kekuasaanya atas eksplorasi tambang di Papua. Dengan kekuatan Australia yang didukung negara Eropa sebagai pelaksana, mereka akan tetap menjamin pasokan energi dan keuntungan eksplorasi Papua, kepada Amerika.
Jadi, siap-siap Papua keluar dari mulut macan, masuk mulut singa……
Duh, lantas, apa yang dilakukan pemerintah Indonesia? “Kita harus akui bahwa Papua dan segenap rakyatnya jauh tertinggal sehingga harus segera diperbaiki. Kita harus melindungi saudara-saudara kita di Papua dengan segala peningkatan kesejahteraan dan keadilan. Saya yakin, kalau pemerintah dan rakyat satu visi, tidak akan ada ruang bagi pihak asing untuk memperkeruh suasana,” jelas Alvien Lie, anggota Panja Freeport DPR-RI.
GERAKAN GO INTERNATIONAL PAPUA
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comments :
Posting Komentar