“Sok, Sia, Saya mah Daek Berkorban...”

“Man, gimana Bu Tintin? Naon kitu? nya iye teh keukeuh wae ceunah masalah ini BPHTB kudu diperiksa, kudu dilimpahken ka wilayah. Saya bilang, Ya Insya Allah lah Bu Tintin oge bijaksana lah... kita juga kan sudah maksimal...Makanya, saya oge berharap bisa obrol panjang lah sama ibu...kan kita nggak enak sama ibu, kita udah banyak dibantu...”

Kutipan di atas adalah penggalan dari rekaman suara yang diduga sebagai Suparman, yang tengah berdialog lewat telepon dengan Tintin Surtini. Penggalan kalimat itu, terjadi saat Suparman menyampaikan kabar tak menyenangkan ihwal perkembangan penyidikan perkara korupsi PT Industri Sandang Nusantara (PT Insan), kepada Surtini.

Dalam percakapan telepon yang dibawa Surtini ke muka persidangan itu, terdengar kalau Suparman tengah mencoba menakut-nakuti Surtini. Betapa tidak. Dengan dialek sunda yang kental, pria asli Kota Bandung itu menyampaikan pesan kepada Surtini. Inti kisah, teman-teman penyidiknya keukeuh bakal “membidik” Surtini dari saksi menjadi tersangka di dalam kasus tersebut. Tapi, Suparman mengisyaratkan kalau Surtini bisa lolos dari jeratan tersangka.Tentu saja -kalau boleh menyimpulkan bahasa telepon Suparman- kalau Ibu Tintin Surtini “bijaksana”.

Sekadar mengingatkan, Suparman adalah seorang polisi berpangkat Ajun Komisaris Polisi (AKP). Sejak 1 April 2005, Suparman diperbantukan sebagai pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dan sejak itu pula, dengan SK Pimpinan KPK Nomor KEP-28B/KPK/IV/2005, Suparman ditetapkan sebagai penyidik fungsional KPK.

Tak ayal, kedudukannya sebagai penyidik KPK, kian memuluskan jalan Suparman menangani kasus korupsi PT Insan. Maklum, berkas kasus dengan setumpuk dokumen tentang korupsi BUMN itu sudah ada di tangan Suparman sejak dirinya masih dinas di Dirserse Polda Jawa Barat. Tanpa berpikir panjang, pria kelahiran Bandung, 19 Agustus 1959 ini pun langsung mengajukan kasus korupsi PT Insan kepada pimpinan KPK.

Sepuluh hari setelah diangkat sebagai penyidik KPK, persisnya 10 April 2005, Suparman mengaku mendapat informasi dari Masyarakat Kelurahan Cipadung, Kecematan Cibiru, Kabupaten Bandung. Lantas, 28 April 2005, ia laporkan kasus itu kepada pimpinan KPK. Dan, penyelidikan kasus itu pun digelar KPK sejak Mei 2005

Lantas, 6 Juni 2005, Suparman mengajukan Laporan Kejadian Korupsi atau LKK bernomor LKK/04/VI/2005/KPK. Kasusnya, ya itu tadi, dugaan tindak pidana korupsi dalam hal penjualan aset PT Insan Cabang Bandung berupa tanah seluas 25,9 ha dengan harga di bawah NJOP, sehingga merugikan negara sekitar Rp 70 Milyar. Sejak itulah, kasus ini masuk tahap penyidikan. So, Suparman bertindak selaku pelapor sekaligus penyidik perkara ini.

Nah, dalam proses penyidikan itulah Suparman kali pertama kenal dan bertemu Tintin Surtini, yang diperiksa sebagai saksi. Dirut PT Insan memberi surat kuasa kepada Surtini untuk mengurusi perpanjangan SHGB tanah yang bakal dijual itu.

Nah, terkait proses penyidikan KPK atas kasus itulah, tim penyidik KPK pun memeriksa Tintin Surtini sebagai saksi. Tak ayal, dalam penyidikan sepanjang Juni-Juli 2005, Tintin telah diperiksa sebanyak tiga kali, di kantor KPK, Jalan Veteran, Jakarta. Selanjutnya, diantara tim penyidik KPK yang diketuai M Aris Purnomo dan beranggotakan Suparman, Sri Damar Alam, Soedjarwo, Anhar Darwis dan Yessi Esmeralda itu, Kapiten Suparman-lah yang kemudian intens menjalin komunikasi dengan Tintin Surtini.

Celakanya, di luar pemeriksaan di kantor KPK, Suparman nyatanya berulang kali berhubungan dengan Tintin, baik langsung maupun lewat telepon. Itulah yang dianggap Tim Jaksa Penuntut Umum Firdaus, KMS A Roni dan Rudi Margono, sebagai perbuatan yang bertentangan lantaran dilakukan tanpa alasan yang sah. Parahnya lagi, Suparman selalu mengancam Tintin akan dijadikan tersangka.

Singkat cerita, 13 Maret 2006, Suparman pun ditangkap koleganya sendiri, tim penyidik KPK, di rumah pribadinya di kota Bandung, Jawa Barat. Dengan barang bukti uang sebesar Rp 100 juta yang sore itu dikembalikannya kepada suami Surtini, Yunus, Suparman dijerat pasal pemerasan. “Dia (suparman-red) selalu bilang, saya bisa jadi tersangka. Saya diem, saya tidak tahu prosedur di KPK, saya lemes. Saya suruh serahin uang kalau nggak mau dipisahin sama anak dan suami. Sejak jadi saksi PT Insan, itu penderitaan buat saya. Kalau dipanggil KPK langsung saya keringat dingin,” kenang Surtini dalam kesaksiannya.


Delapan tahun Penjara

Emosi tak tertahankan meluap dari seorang Kapiten Suparman. Rabu kelabu, 6 September lalu, Suparman yang duduk di kursi terdakwa, di dampingi istri dan keluarganya di kursi pengunjung pengadilan di kawasan Gedung Uppindo, Kuningan, Jakarta Selatan itu.

Sesaat setelah Majelis Hakim Pengadilan Tipikor yang dipimpin Masrurdin Chaniago membacakan vonis delapan tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider enam bulan penjara, Suparman sontak berdiri berteriak. “Banding! Pengadilan Kejam!” teriaknya lantang.

Suparman pun berjalan meninggalkan ruang sidang dengan raut emosi yang kelewat sangat. "Bohong itu! Itu bukan fakta persidangan! Buat apa ada persidangan. Udah aja, langsung ketok palu, salah!" kata Suparman dengan nada tinggi. Menurutnya, putusan hakim hanya menjiplak berita acara pemeriksaan (BAP). "Itu semua adalah bacaan BAP, tidak ada fakta persidangan. Buat apa ada persidangan, langsung saja vonis, buat apa keluarkan biaya persidangan," ungkapnya.Kata Suparman, dari 10 saksi, tidak ada seorang pun yang menyatakan bahwa dirinya telah memaksa Tintin untuk menuruti kemauannya. "Percuma ada pengacara di sini. Pengadilan kejam!" Suparman kembali mengumpat.

Tak cuma Suparman yang kecewa. Istri serta anak laki-lakinya pun nampak tak kuasa menahan emosi. Sesaat setelah hakim membacakan vonis, mereka langsung keluar ruang persidangan sambil menangis. "Saya mengerti tugas wartawan. Tapi, kalau mau syuting, syuting saya, jangan anak saya," tegas istri Suparman kepada wartawan TV yang mencoba mengambil gambar mereka.

Yang jelas, Suparman dinyatakan terbukti bersalah memeras saksi kasus Korupsi PT Insan, Tintin Surtini. Vonis hakim lebih ringan daripada tuntutan jaksa penuntut umum (JPU). JPU menuntut Suparman hukuman 12 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider enam bulan penjara. Meski sebagai penyidik KPK, hukuman Suparman, ditambah sepertiga lagi dari vonis majelis hakim. Artinya, Suparman mendapat hukuman setidaknya 10 tahun penjara.

Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan bahwa Suparman terbukti melanggar dakwaan primer sesuai pasal 12 (e) UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah oleh UU No 20 Tahun 2001 jo pasal 64 ayat 1 KUHP. Karena berstatus sebagai penyidik KPK, Suparman juga dikenai UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP jo pasal 26 (a) UU No 20 Tahun 2001 dan UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK.Hal yang memberatkan, terdakwa sebagai penyidik KPK justru bertindak melanggar hukum dan mencoreng institusi KPK. Selain itu, terdakwa dianggap tidak berterus terang dan tidak menunjukan penyesalan. Hal yang meringankan, terdakwa berlaku sopan dan belum pernah dihukum.

Terdakwa memenuhi unsur menyalahgunakan jabatan dengan memaksa saksi Tintin Surtini untuk memenuhi permintaannya. "Saksi memberikan sejumlah uang dan barang karena terpaksa. Karena diancam akan dijadikan tersangka oleh terdakwa," ungkap hakim ad hoc I Made Hendra Kusuma. Menurut majelis hakim, pemerasan yang dilakukan Suparman diperkuat oleh bukti uang pengembalian Rp 100 juta yang diserahkannya kepada Yunus, suami Tintin. "Terdakwa mau mengembalikan uang tersebut kepada suami saksi setelah diminta. Asumsinya, terdakwa telah menerima uang dari saksi lebih dari Rp 100 juta," jelas hakim ad hoc Achmad Linoch.


Rekaman Suara Telepon

Ada yang tersisa dari kisah balada hukum Surtini dan Suparman. Di sepanjang proses persidangan, Surtini membawa barang bukti pendukung aksi pemerasan Suparman berupa rekaman pembicaraan keduanya lewat telepon genggam. Surtini juga menyertakan sejumlah SMS yang dikirim Suparman kepada Surtini selama ini.

Suatu kali dalam sebuah percakapan, misalnya, Suparman sempat melaporkan situasi yang tidak menguntungkan bagi Surtini. “Memang nasib urang teh keur caroba iyeu teh, bu (memang nasib kita ini lagi banyak cobaan, bu –red),” suara Suparman dengan dialek sunda yang kental di ujung telepon Surtini.

Suparman pun mengisahkan kepada Surtini ihwal yang terjadi di tubuh penyidik saat itu. Ia pun mengaku adanya desakan untuk melimpahkan kasus yang melibatkan dan memungkinkan Surtini menjadi tersangka, akan dilimpahkan ke Polda Jabar. Suparman pun menyebut-nyebut Aris –diduga yang dimaksud dan disebut-sebut itu adalah M Aris Purnomo, Ketua Tim Penyidik Kasus PT Insan- sebagai pihak yang selalu bertanya tentang hubungan Surtini dan Suparman. Pula, menyoal kenapa Suparman tidak menjadikan Surtini tersangka.

Surtini pun melontarkan pertanyaan sederhana kepada Suparman. “Pak, Saya mau tanya, dulu yang bapak minta ke saya, Pak Aris apa nggak kebagian?” tanya Surtini.

“Memang oleh saya ditahan dulu. Karena Pak Aris, nggak mau, nggak mau! Gituuuh... Adaaaa di saya. Kan saya lapor ke Ibu. Ada, itu masih ada. Di Pak Arif mah nggak ada masalah! JPU yang jadi masalah mah.... PBB eta tea.,” jawab Suparman. “Itu karena mungkin pembagian (uangnya) tidak rata atau bagaimana, Pak?” lanjut Surtini. “Nggak! Bukan, bukan, bukan...Ini bukan keinginan kita... Bukan keinginan kita! Kalau keinginan kita mah nggak ada, capek malah kalau lempar ke wilayah...Keinginan kita mah nggak ada. Pak Aris mah ikut-ikut aja,” jawab Suparman lagi.

“Jadi, yang masalah siapa, Pak?” Surtini kembali bertanya. “Jaksa eta ..... kan kamari bilang nyangkanya mereka uang itu nggak masuk. Makanya kita ingin tahu reaksi dia setelah kita perlihatkan. Tapi barusan nggak ada semua. Da kalau di wilayahin oge tenang ajalah. Saya back up dari segala apapun buat Ibu mah lah. Sampai saya bilang niat pidana buat Ibu. Sok sia, saya mah daek berkorbanlah. Iyeu mah adu gengsi iyeu mah gitu. Saya mah buat ibu naon ge pokona berkorbanlah,” ujar Suparman.

Hebatnya, di tengah tugasnya sebagai penyidik saat itu, Suparman masih sempat berupaya menawarkan kerja sama dengan Surtini. Yang ini, di luar konteks penyidikan kasus yang tengah disidiknya.

Lantas, apa? Suparman menawarkan Surtini pekerjaan pengurusan SHGB sebuah BUMN lainnya. Wah..wah...wah...sambil menyelam minum air betul Kapiten Suparman ini. Bayangkan, suatu kali diujung telepon, suara Suparman menawarkan PT Barata yang mau memperpanjang SHGB tanah mereka di Bandung dan Surabaya.

“Tapi harus ke Pak Roes,” kata Suparman. “Ke siapa, Pak?” tanya Surtini. “Pak Roes Aria Wijaya (salah seorang Deputi Meneg BUMN-red),” jawab Suparman. “Ah, ke BUMN mah saya takut, kapok,” timpal Surtini. “Moal atuh, bu..Aya prosedur moal nanaon (nggak dong, bu, ada prosedur, nggak apa-apa-red),” jelas Suparman. “Lumayan ibu, ada puluhan hektar. Tidak apa-apa. Nanti kan bisa saya back up untuk BUMN-nya. Nggak apa-apa sepanjang perpanjangan, mah,” lanjut Suparman.

Meski Surtini berkomentar enggan mengerjakanya, Suparman keukeuh ngotot menawarkannya. “Ibu, iyeu mah engke-engke wae... Ibu kan anu leuwih terang sakumaha-sakumahana (Ibu ini mah nanti-nanti aja, Ibu kan yang lebih tahu soal berapa-berapanya-red). Nyak ibu nyak...nyak...nuhun...(ya ibu ya..ya...makasih-red),” kata Suparman lagi. “Ya, yang terbaik ajalah, Pak. Da saya mah kalau bapak minta teh bleg...bleg...,” jawab Surtini.

Comments :

0 komentar to ““Sok, Sia, Saya mah Daek Berkorban...””