SUAP, JENDERAL...!!!

Kasus suap dalam penanganan perkara pembobolan BNI Cabang Kebayoran Baru, telah menjebloskan dua jenderal polisi -Brigjen Samuel Ismoko dan Komjen Suyitno Landung- ke sel tahanan mabes polri. Para mantan pejabat Bareskrim Mabes Polri itu, diduga menerima suap milyaran rupiah dari para tersangka kasus LC BNI. Komjen Erwin Mappaseng bakal menyusul?

Boleh jadi, inilah puncak ironisme potret penegakan hukum di tanah air. Praktek mafia peradilan yang telah bercokol sejak lama dalam kehidupan hukum kita, satu per satu mulai tersingkap ke permukaan. Satu per satu pula, para penyidik mulai menyidik para penyidik lainnya. Aparat penegak hukum menangkap aparat penegak hukum lainnya.

Setidaknya itulah yang terjadi dalam kasus letter of credit atau surat kredit fiktif BNI Cabang Kebayoran Baru. Kasus kejahatan keuangan perbankan yang merugikan negara Rp 1,7 trilyun, nyatanya menggelinding begitu rupa hingga terbongkarnya skandal suap yang melibatkan sejumlah petinggi polisi.

Alkisah bermula pada paruh akhir 2003 silam. Saat itu, Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri berhasil membongkar kasus penerbitan ratusan surat kredit fiktif di BNI Cabang Kebayoran Baru senilai Rp 1,7 trilyun kepada Grup Gramarindo. Tim penyidik Polri pun lantas mencokok sejumlah tersangka yang diduga terlibat kasus yang tergolong spektakuler saat itu.

Selain para pejabat BNI Cabang Kebayoran Baru, polisi menemukan bukti adanya sejumlah nama besar yang diduga kuat berada di balik kejahatan keuangan ini. Sebutlah Dicky Iskandar Dinata dan Adrian Herling Woworuntu. Dua nama yang mengantungi track record buruk dalam sederet kasus kejahatan perbankan yang pernah terjadi di tanah air.

Masih ada dalam ingatan tatkala Dicky Iskandar Dinata diduga sebagai otak dibalik skandal Bank Duta. Bersama Adrian Woworuntu dan Endang Utari Mokodampit, Dicky pun dituding sebagai actor utama skandal Bank Pacific milik keluarga Ibnu Sutowo.

Sayangnya, di kemudian hari, penanganan kasus BNI ini pun tersandung praktek mafia peradilan. Kecurigaan public merebak tatkala sejumlah kejanggalan yang dilakukan polisi dalam menangani perkara ini, mulai tercium ke permukaan. Masih bebas berkeliaraanya Maria Pauline Lumowa -pemilik Grup Gramarindo yang notabene sebagai tersangka utama- di negeri sebelah Singapura adalah salah satunya.

Seorang sumber di Bareskrim Mabes Polri mengungkap, Maria Pauline Lumowa sengaja dibiarkan menghirup udara bebas di Singapura hingga saat ini. Jangan heran, bila sepan-jang proses penyidikan, sejumlah petinggi polisi sempat menemui Maria di Singapura. Sumber itu bahkan mengaku, belum lama ini, Maria Pauline sempat bertandang ke Bareskrim Mabes Polri di Jakarta untuk dimintai keterangan.

Dugaan ketidakberesan kembali terendus saat tersangka lainnya, Adrian Herling Woworuntu mangkir dari dua kali panggilan polisi. Sebelum akhirnya, 1 Oktober 2004, polisi menetapkan Adrian sebagai buronan dan masuk dalam deretan DPO (Daftar Pencarian Orang). “Ada scenario polisi untuk membebaskan Adrian dari kasus kredit fiktif BNI,” ungkap Rudy Sutopo, salah seorang tersangka lainnya, saat itu.

Pelarian Adrian memang tak berlangsung lama. Pasalnya, 22 Oktober 2004, Adrian kemudian menyerahkan diri kepada polisi. Meski menurut polisi saat itu, Adrian berhasil mereka tangkap, bukan menyerahkan diri. Yang pasti, Kanit Perbankan dan Ekonomi Khusus Bareksrim Polri kala itu, Kombes Irman Santoso, menjemput sang buron di Bandara Polonia Medan. Dari Medan, buronan yang diduga dari Singapura itu, akhirnya digelandang ke Mabes Polri Jakarta.

Kembalinya Adrian ke sel tahanan Bareskrim Mabes Polri, tidak menyurutkan carut marut penanganan kasus ini. Sebaliknya, kian menguatkan dugaan kongkalikong dalam penanganan kasus oleh tim penyidik polisi. Apalagi, sebelumnya, 18 Oktober 2004, Kapolri saat itu Da’i Bachtiar memutasikan Dir II Eksus Brigjen Samuel Ismoko menjadi Kepala Biro Pembinaan dan Operasi Mabes Polri deputy operasional.

Menolak keterlibatan oknum penyidik dalam kasus suap, Kapolri beralasan, mutasi dila-kukan lantaran Brigjen Ismoko dianggap kurang cakap dalam menangani kasus BNI, ter-kait kaburnya Adrian Woworuntu.


Skenario Bebas dan Kambing Hitam

Adalah Rudy Sutopo, salah seorang tersangka yang sejak awal mengungkap adanya gelagat main mata antara tim penyidik polri dengan sejumlah tersangka, dalam penanganan kasus BNI.

Rudy yang juga terpidana 15 tahun penjara dalam kasus ini adalah Komisaris PT Mahesa Karya Muda Mandiri. Salah sebuah perusahaan yang dituduh turut menerima kucuran kredit fiktif BNI senilai USD 9,38 juta.

Akhir 2004 silam, Rudy mulai buka kartu. Saat itu, 30 Desember 2004, Rudy masuk sel tahanan Bareskrim Mabes Polri. Keesokan paginya, dirinya berjumpa Adrian Woworuntu di ruang pemeriksaan. Pagi-pagi itu pula, Adrian berbicara langsung kepada Rudy ichwal kebutuhan uangnya untuk penyidik. “Adrian ngomong sama saya, kurang uang 20 ribu dollar (AS) untuk kasih ke Pak Ismoko. Saya tanya, buat apa? Kata Adrian karena Ismoko mau ke Bangkok,” ungkap Rudy kala itu. Dus, isu suap pun menggelinding ke permukaan.

Tak hanya itu. Rudy pun akhirnya mencoba set back seraya mengingat berbagai keganjilan selama dirinya diperiksa polisi. Ingatan itu pun terngiang kembali. Maklum, kata Rudy, kongkalikong penuh rekayasa penanganan kasus BNI, sudah terasa saat awal mula dirinya disebut-sebut turut menerima dana kucuran BNI.

Setidaknya, itulah yang terjadi setahun sebelumnya, tepatnya awal Desember 2003. Seorang temannya menyarankan Rudy menemui orang bernama Ishak yang disebut-sebut sebagai kawan dekat Brigjen Ismoko. Belakangan, oleh Rudy, Ishak disebutnya sebagai makelar kasus.

Pertemuan Rudy dan Ishak pun berlangsung di Hotel Sheraton Bandara, di kawasan Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng. Ikut hadir dalam pertemuan itu, orang bernama Dodi Abdul Kadir. "Mereka menjelaskan ada skenario begini begitu. Saya bilang, kok bisa begitu? Menurut Dodi Abdul Kadir, saya dibilang Adrian yang katanya Pak Edi dan saya adalah otak dll," cerita Rudy.

Inti scenario adalah menempatkan Kepala Customer Service Luar Negeri BNI Kebayoran Baru –terpidana penjara seumur hidup kasus ini- dan Rudy Sutopo sebagai otak pembobolan BNI. Menurut cerita Rudy, scenario itu memang sengaja dibikin oleh Adrian Woworuntu dan Aprilia Widarta atas sepengetahuan Maria Pauline Lumowa. "Press conference sudah diatur sedemikian rupa sehingga terbentuk opini saya adalah sindikat internasional surat kredit fiktif," lanjut Rudy saat itu.

Belakangan diketahui, Ishak dan Dodi Abdulkadir adalah konsultan pada kantor konsultan hukum MR & Partners, yang didapati juga sebagai konsultan hokum sejumlah perusahaan milik Adrian Woworuntu.

Setelah pertemuan itu, Ishak mengaku akan berkoordinasi dengan Brigjen Ismoko. Sebelum akhirnya kabar baru kembali datang dari Ishak kepada Rudy. Pertemuan kedua pun berlangsung di Hotel Ibis Jakarta.

Dalam pertemuan kedua, Ishak mengaku masalahnya sudah clear dan sebagai Komisaris PT Mahesa Karya Muda Mandiri, Rudy tidak terbukti menerima kucuran dana BNI. "Tapi supaya berakhir damai, ada 86 (bisa dimengerti). Karena tidak ada yang gratis," kata Rudy mengutip Ishak. Embel-embel tidak gratis pun membuahkan permintaan duit dari Ishak Cs. Nilainya pun tak tanggung-tanggung: Rp 5 Milyar.

Rudy mengaku tak sanggup menyediakan uang sebesar itu dan hanya bisa memberi Rp 500 juta saja. Ishak dan Dodi tak keberatan dan meminta uang itu diberikan secara tunai. Rudy menolak. Akhirnya, uang yang menurut pengakuan Ishak akan diberikan kepada Brigjen Ismoko itu, dikirim Rudy lewat transfer ke rekening atas nama Dodi Abdul Kadir, di Lippo Bank Cabang Kuningan, Jakarta Selatan.

Kepada media massa, Kepala kantor MR & Partners, M Toni Suhartono, membantah tudingan Rudy. Menurutnya, pembayaran itu untuk uang muka pembayaran kepada MR & Partners sebagai konsultan bisnis dan konsultan hukum yang ditunjuk Rudy dalam menghadapi kasus kredit fiktif BNI. Tapi setelah Rudy ditahan polisi, secara lisan Rudy membatalkan kuasanya kepada MR & Partners (catatan: bisa jadi Rudy kesal karena sudah bayar uang muka scenario bebas, eh malah jadi tahanan bareskrim….).

Selain itu, M Toni Suhartono membantah kalau Ishak adalah makelar kasus seperti ditu-duhkan Rudy. Toni mengaku Dodi dan Ishak adalah konsultan di kantornya.

Rudy nampaknya tak menggubris bantahan itu. Bahkan, pengakuan Rudy kian menjadi-jadi ketika awal Januari 2005, Mabes Polri akhirnya menggelar Sidang Kode Etik dan Profesi, dengan terperiksa Brigjen Samuel Ismoko. Di depan Ketua Majelis Hakim yang diketuai Komjen Polisi Adang Dorodjatun, Rudy kembali mengungkap serangkaian keganjilan yang ia alami selama diperiksa di Bareskrim Mabes Polri.

Bahkan, hanya lantaran tak mau memenuhi permintaan uang Rp 250 juta, di depan sidang, Rudy mengaku sempat diancam tembak oleh oknum penyidik Bareksrim Polri. Kejadian itu dialami Rudy sekitar Maret 2004 pukul 17.00 sore di salah satu ruangan penyidik kasus BNI, bernama AKP Agus Salim. Di ruangan itulah, Rudy mengaku sempat diminati uang Rp 250 juta oleh AKP Agus Salim dan AKP Pandit. Kata mereka, uang itu akan diserahkan kepada Kombes Irman Santoso guna memperingan perkara Rudy. Kombes Irman Santoso adalah anak buah Brigjen Ismoko yang saat itu sebagai penyidik dan menjabat Kanit II Perbankan dan Ekonomi Khusus Dir Eksus Bareskrim,.

Saat itu pula, ungkap Rudi di persidangan kode etik dan profesi Mabes Polri, dia dipaksa teken sebuah scenario besar penyelesaian kasus BNI. Isinya, otak pelaku pembobolan BNI adalah Kepala Customer Service Luar Negeri BNI Kebayoran Baru, Edi Santosa.

Lantaran Rudi tak mau teken dan tak mau menyerahkan uang Rp 250 juta, keributan besar dan perang mulut antara Rudi dan AKP Agus Salim pun terjadi. Perang mulut itu disaksikan pula oleh penyidik Pangaribuan dan AKP Pandit beserta seluruh staff mereka di ruangan itu. Sampai-sampai, AKP Agus sempat mengancam Rudi akan ditembak, sembari mengacungkan pistol miliknya ke arah kepala Rudy.

Melihat aksi polisi itu, tersangka lainnya Harris Is Hartono, Direktur Utama PT Mahesa Karya Muda Mandiri yang saat itu berada di sebelah Rudy Sutopo, langsung menantang pak polisi. “Cabut pistol kamu! Memang kamu siapa?” ujar Harris. Rudy pun menimpali. “Kalian bukan yang punya republic ini! Hidup mati saya di tangan Allah!” kisah Rudy.

Irjen Dadang Garnida salah seorang anggota majelis hakim sidang kode etik, saat itu sempat bertanya, mengapa Rudy tidak takut. “Saya tidak takut karena saya adalah putra militer. Kalau dulu saya memberikan uang dan menandatangani skenario itu, mungkin sekarang saya tidak di Cipinang” jawab Rudy saat itu.

"Kasus ini tidak pelik dan amat sangat jelas aliran dananya ke mana saja," sambung Rudy seraya menambahkan ichwal laporan PPATK kepada Divisi Propam Mabes Polri soal 196 rekening penerima aliran dana LC Fiktif BNI, yang tak pernah diungkap polisi hingga saat ini.


Satu per satu, Jenderal Masuk Bui

Sidang kode etik dan profesi Mabes Polri akhirnya memutuskan untuk menonaktifkan Brigjen Samuel Ismoko sebagai penyidik di lingkungan Polri, selama satu tahun lamanya.

Sayangnya, nasib kurang beruntung tak berpihak kepada para jenderal pejabat teras Bareskrim saat itu. Betapa tidak. Geger suap milyaran rupiah nyatanya tak berhenti sebatas pada sidang kode etik dan profesi. Penyelesaian hukum terkait unsur pidana berupa dugaan penyuapan, terus berlanjut.

Berdasarkan laporan Pusprov mabes Polri tertanggal 11 Februari 2005, proses penyidikan terhadap kasus dugaan penyuapan terhadap penyidik BNI, mulai dilancarkan. Irjen Pol Dadang Garnida, yang saat itu menjabat Wakabareskrim, bertindak selaku ketua tim penyidik.

Menyusul proses penyidikan, 4 Maret 2005, Kapolri menonaktifkan kanit II Perbankan dan Eksus Kombes pol Irman Santoso.

Sebelum akhinya keluar surat perintah Kapolri pada 17 Agustus 2005 disusul surat perintah penyidikan kasus dugaan penyuapan terhadap penyidik kasus BNI Kebayoran Baru, pada 19 Agustus 2005, proses penyidikan kasus penyuapan kian intens dilakukan.

Setelah melalui pemeriksaan terhadap sedikitnya 17 orang saksi, 17 September 2005, Kadiv Propam Mabes Polri Irjen Pol Yusuf Manggabareni yang juga menjadi ketua tim penyidik kasus suap, menangkap Kombes Irman Santoso. Setelah sejarian diperiksa, Irman langsung digelandang ke sel tahanan mabes polri.

Tak pelak. Irman Santoso pun tak mau meringkuk di penjara seorang diri. Ia mulai menyanyi di depan penyidik. Nyanyiannya pun memicu kontroversi. Irman mengaku menerima uang dari Adrian Woworuntu. Hanya saja, uang itu tak dinikmatinya sendiri.

Sodokan Irman memang tak kepalang tanggung. Dalam pemeriksaan, ia menyeret nama mantan Kapolri Jenderal Polisi Da’i Bachtiar dan mantan Kabareskrim Polri Komjen Erwin Mappaseng, sebagai pejabat polri yang disinyalir turut kecipratan uang dari kasus ini. Menurut Irman, keduanya sempat menerima masing-masing Rp 1 Milyar dari mantan direktur keuangan BNI Mohamad Arsyad. Dalam perkara BNI Kebayoran Baru, Arsyad adalah orang yang ditunjuk BNI sebagai Ketua Tim Penyelesaian Masalah Suat Kredit atau L/C.

Lantas, bagaimana cerita duit dua itu? Begini. Uang itu berasal dari Mohamad Arsyad. “Pak Arsyad datang kepada saya dan mengatakan akan menghadap Pak Erwin (Erwin Mappaseng, Kabareskrim Polri saat itu-red) untuk menyerahkan uang tersebut. Pak Erwin mengatakan menyerahkan Rp 1 milyar kepada Kapolri Da’i Bachtiar,” pengakuan Irman dalam dokumen fotocopi berkas pemeriksaan Irman yang beredar kala itu.

Tidak hanya itu. Irman juga menyodok sang komandan, Brigjen Samuel Ismoko. Menurutnya, segala hal yang berurusan dengan penanganan perkara BNI, semuanya berada di bawah kendali dan sepengetahuan Ismoko, selaku Dir II Ekonomi Khusus Bareskrim saat itu.

Dalam fotocopi itu pula, Irman mengaku menerima travelers cheque dari Mohamad Arsyad senilai Rp 25 juta, di akhir 2003. Dia bilang, semua penyidik kasus BNI menerimanya, termasuk Ismoko dan sejumlah petinggi kepolisian lainnya.

Dus, atas pengakuan Irman Santoso itulah, polisi kemudian memeriksa dan menahan Mohamad Arsyad. Menyusul kemudian pada Oktober tahun lalu, Brigjen Samuel Ismoko, akhirnya menemani Irman di ruang tahanan mabes polri.

Bersama mereka di sel tahanan mabes polri, meringkuk pula sejumlah tersangka kasus suap. Diantaranya Ishak, Dodi Abdulkadir, Jefrey Baso dan Dicky Iskandar Dinata.

Selama proses penyidikan berlangsung. Sebuah dokumen rahasia terbetik dari Gedung Propam Mabes Polri. Laporan kemajuan penyidikan yang diterima Propam dari salah Gedung Tipikor Mabes Polri, jelas-jelas menyebutkan adanya indikasi aliran dana milyaran rupiah dari sejumlah tersangka kasus BNI kepada sejumlah oknum penyidik Bareskrim. Terdapat petunjuk tentang adanya sejumlah dana yang disalurkan kepada penyidik baik langsung maupun lewat perantara. Begitu tulis dokumen itu.

Masih dari dokumen itu, tersebutlah aliran dana Rp 8,5 M dan Rp 7 M dari Dicky Iskandar Dinata yang langsung diserahkan kepada Kombes Irman Santoso. Tak hanya sekali itu, Dicky disinyalir memberi uang oknum penyidik. Yang lain, ada pula pemberian USD 350 ribu dari Dicky yang juga diserahkan langsung kepada Kombes Irman Santoso. Selain, USD 30 ribu dari Suharna atas suruhan Dicky yang diserahkan kepada Kompol Siti Komalasari dan AKP Siti Zubaedah. Suharna juga sempat menyerahkan Rp 10 juta kepada Kompol Siti Komalasari dan sudah dilaporkan kepada Kombes Irman Santoso.

Dokumen itu juga menyebutkan, polisi menemukan fakta adanya beberapa pertemuan antara penyidik dan para tersangka. Baik sebelum, sedang dan setelah penyidikan kasus pembobolan BNI Kebayoran Baru. Pertemuan itu disinyalir berlangsung diantaranya di Hotel Sheraton bandara, Hotel Ibis Slipi, Hotel Kemang Jaksel, dan Gandy;s Kemang serta Graha Purnawira Jaksel. Yang terakhir, adalah tempat tinggal Kombes Irman Santoso di Jakarta. Irman tinggal seorang diri di Graha Purnawira lantaran anak dan istrinya menetap di kota Medan, Sumatera Utara.

Atas dokumen resmi polisi itu, Dicky membantah ichwal aliran dana tersebut. Menurut Agustinus Hutajulu, pengacara Dicky, klien-nya tidak pernah sekalipun memberi uang kepada sejumlah oknum penyidik Bareskrim Polri. “Jangankan milyaran, sepeserpun Dicky tidak pernah main uang dengan penyidik,” kilah Agustinus.

Entahlah. Yang pasti, atas pengakuan Irman dan 17 tersangka lainnya, pertengahan Desember tahun lalu, tim penyidik Bareskrim akhirnya memeriksa mantan Kepala Bareskrim Mabes Polri, Komjen Polisi Suyitno Landung. Seharian lamanya, Landung diperiksa di bekas ruangan kerjanya, ruang Kepala Bareskrim yang kini dijabat Komjen Polisi Makbul Padmanegara. Seusai pemeriksaan kedua kalinya, tim penyidik bahkan langsung menahan salah seorang mantan orang kuat di lingkungan Mabes Polri itu.

Gebrakan Mabes Polri mengungkap kasus suap BNI memang mengundang acungan jempol banyak kalangan. Bahkan, dalam waktu dekat, polisi bakal pula memanggil Komjen Polisi Erwin Mappaseng, mantan Kabareskrim sebelum Suyitno Landung, untuk diperiksa dalam kasus ini. Bukan mustahil, pemeriksaan akan pula dilakukan terhadap mantan Kapolri Jenderal Polisi Da’i Bachtiar.

Namun, aroma tak sedap berhembus dari gedung parlemen. Saat rapat dengar pendapat Kapolri dengan Komisi III DPR-RI akhir Januari lalu, mayoritas anggota dewan mengucapkan selamat kepada Kapolri Jenderal Sutanto atas penanganan kasus suap BNI. Di sisi lain, sejumlah wakil rakyat kabarnya berpesan kepada Kapolri untuk tidak mengembangkan lebih jauh kasus ini. Maksudnya? Cukup sampai di sini, Jenderal!

Comments :

1
Anonim mengatakan...
on 

Kelihatan yang anda tulis memang tidak salah, karena begitulah opini publik yang terbentuk oleh KOLABORASI SESAT antara Penegak Hukum, Banker Busuk, Politisi Busuk dan media massa.... jadilah semua masyarakat mendapatkan miss informasi..... sehingga yang koruptor PALSU dijebloskan kedalam penjara dan KORUPTOR ASLINYA sedang menegakkan hukum dan juga sedang menikmati hasil penyisihan kerugian negara yang berhasil diselamatkan lewat perutnya sendiri....., Tetapi apapun.. merilah sama-2 kita mempunyai keyakinan yang sama, bahwa KEBENARAN itu MUTLAK milik ALLAH... dia hanya dapat disalahkan sesaat, tetapi kebenaran itu akan MENANG pada waktunya ALLAH berkehendak... AMIN