SKANDAL DANA BI (2)

BERANI SENTUH AULIA & PASKAH?

KPK makin moncer saja dalam penyelesaian Skandal Dana Bank Indonesia. Setelah Oey Hioey Tiong, Rusli Simanjuntak dan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah, KPK juga menyeret Antony Zeidra Abidin dan Hamka Yandhu -keduanya mantan anggota Komisi IX DPR-RI periode 1999-2004 – ke dalam tahanan. Akankah mantan Deputi Gubernur BI Aulia Pohan dan mantan Ketua Komisi IX DPR Paskah Suzeta menyusul?



Malam itu, di sebuah rumah mewah di bilangan Jakarta Selatan, persisnya di Jalan Gandaria Tengah I No.5. Sebuah mobil Mazda minibus yang disopiri orang bernama Jhonatan tiba-tiba berhenti di depan rumah itu. Nampak turun dari mobil Biro Gubernur Bank Indonesia Rusli Simanjuntak dan Analis BI Asnar Azhari. Sang sopir Jhonatan dan Asnar terlihat membawa travel bag besar berwarna biru. Diduga, di dalam tas itu berisi uang milyaran rupiah.

Selanjutnya, Jhonatan, Rusli dan Asnar memasuki rumah diiringi seorang pembantu. Entah apa yang terjadi di dalam rumah, yang jelas, selang 30 menit, ketiganya keluar dari rumah yang diketahui sebagai milik Antony Zeidra Abidin, mantan Ketua Sub Komisi Perbankan dan Lembaga Keuangan Non-Bank Komisi IX DPR-RI periode 1999-2004.

Cerita itulah yang tergambar dalam rekonstruksi yang digelar tim penyidik KPK dalam upaya melengkapi bukti kasus aliran dana BI ke anggota parlemen. Rekonstruksi yang berlangsung 27 Februari lalu itu, diperankan oleh model dengan dihadiri para tersangka.

Rekonstruksi malam itu pun dilanjutkan ke Hotel Sultan di kawasan Semanggi. Dari pengakuan tersangka Rusli Simanjuntak, terungkap adanya dua kamar di Hotel Sultan yang turut menjadi saksi bisu aliran dana senilai total Rp 31,5 Milyar dari Bank Sentral yang diduga diserahkan ke sejumlah oknum anggota komisi IX DPR-RI periode 1999-2004.

Rekonstruksi pertama berlangsung di kamar 679 lalu dilanjutkan ke kamar 687 yang berada di lantai 6 hotel berbintang itu. Di dua kamar itulah, wakil rakyat Hamka Yamdhu yang saat itu menjadi anggota komisi IX DPR-RI, menerima uang dari Biro Gubernur BI Rusli Simanjuntak. Lalu, apa yang terjadi di dua kamar hotel saat itu? ”Ada percaturan di dalam,” seloroh Rusli Simanjuntak kepada wartawan usai rekonstruksi malam itu.

Benarkah uang senilai Rp 31,5 M itu mengalir ke sejumlah oknum anggota komisi IX DPR-RI periode 1999-2004 lewat Antony Zeidra Abidin dan Hamka Yamdhu? Antony Zeidra Abidin, kader Partai Golkar yang kini menjabat wakil gubernur Jambi itu sempat membantah hasil audit BPK yang kini tengah digunakan dasar penyidikan KPK tersebut. ”Kalau uang itu diberikan kepada saya sendiri sebagai diseminasi, memangnya saya apa? Memangnya saya kontraktor BI?” tukas Antony di awal-awal saat ia diperiksa KPK.

Antony juga keukeuh membantah kalau uang itu sebagai sogokan untuk menyelesaikan kasus BLBI dan amandemen UU Bank Sentral. ”Kalau ada orang bilang DPR disogok, disogok untuk apa? Tidak ada satu pun keputusan Komisi IX saat itu yang menguntungkan BI. Semua merugikan BI,” ujar Ketua Dewan Penasehat DPD Partai Golkar Jambi kala itu.

Yang jelas, setelah ditetapkan sebagai tersangka sejak 10 April lalu, KPK lantas menahan kedua mantan anggota komisi IX, Antony Zeidra Abidin dan Hamka Yamdhu. Mantan wakil rakyat itu kini meringkuk di sel tahanan per 18 Maret lalu. Antony di sel tahanan Mapolres Jakarta Barat, sementara Hamka Yamdhu dititipkan KPK di sel tahanan Mapolres Jakarta Timur.

Sekadar mengingatkan, terbongkarnya skandal ini bermula dari surat Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anwar Nasution kepada ketua KPK tertanggal 14 November 2006. Dalam surat berklarifikasi rahasia bernomor 115/S/I-IV/11/2006 itulah, Anwar yang juga mantan Deputi Senior Gubernur BI melaporkan hasil pemeriksaan BPK tahun 2004 atas pemberian bantuan hukum dan penggunaan dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) pada Bank Indonesia.

Berdasarkan pemeriksaan atas Laporan Keuangan Tahunan BI tahun 2004, BPK menyimpulkan adanya penggunaan dana YPPI dan BI untuk keperluan bantuan hukum kepada mantan gubernur BI, mantan direksi BI, dan mantan deputi Gubernur BI yang terlibat dalam kasus BLBI, kredit ekspor dan kasus lainnya. BPK juga menemukan adanya indikasi hal-hal yang menimbulkan sangkaan tindak pidana korupsi dan penyuapan dalam penggunaan dana YPPI.

Seperti diketahuui, KPK telah menetapkan lima tersangka dalam kasus ini. Mereka adalah mantan Biro Gubernur BI Rusli Simanjuntak, Biro Hukum BI Oey Hioey Tiong, Gubernur BI Burhanuddin Abdullah dan dua mantan wakil rakyat Antony Zeidra Abidin serta Hamka Yamdhu. Kelima tersangka kini meringkuk di sel tahanan. Klop. KPK sudah lengkap menyeret kedua belah pihak. Pihak pemberi dalam hal ini para pejabat BI dan pihak penerima suap para oknum anggota parlemen.

Lantas, apakah KPK sudah dianggap tuntas dalam membongkar skandal aliran dana BI? Eit, nanti dulu. Sebagian kalangan masih menilai KPK tebang pilih dalam penuntasan penyidikan skandal ratusan milyar rupiah ini. Lihat saja dari sisi para pejabat BI, misalnya, banyak pihak mendesak KPK untuk menyeret semua oknum pejabat BI yang diduga terlibat.

Keputusan Rapat Dewan Gubernur (RDG), misalnya, dianggap sebagai keputusan kolegial dalam koridor kors Dewan Gubernur BI. Artinya, keputusan BI mengucurkan dana bantuan hukum dan uang pelicin ke parlemen, bukanlah keputusan yang menjadi tanggung jawab seorang Gubernur BI Burhanuddin Abdullah semata. Singkatnya, semua anggota dewan gubernur sudah semestinya turut bertanggungjawab dan terlibat dalam skandal dana Rp 100 M ini.

Setidaknya, mantan Deputi Gubernur BI Aulia Pohan yang kebetulan juga besan Presiden SBY dan Mantan Deputi Gubernur BI Maman Soemantri dianggap sebagai pejabat BI yang turut bertanggung jawab. Bukan lantaran alasan politik karena Aulia besan presiden. Bukan pula sekadar alasan kebijakan kolegial Dewan Gubernur BI. Tapi, keduanya memang ditunjuk Dewan Gubernur sebagai koordinator pelaksaan Program Sosial Kemasyarakatan (PSK) yang notabene sebagai cikal bakal kucuran ratusan milyar rupiah dana BI ke pihak luar.

Mari kita ingat, bagaimana kisah awal mula cerita keputusan RDG terkait dana bantuan hukum dan diseminasi ke parlemen diputuskan di tubuh BI. RDG kembali digelar di era Burhanuddin Abdullah. Persisnya, 3 Juni 2003, RDG yang dihadiri Burhanuddin Abdullah, Aulia Pohan, Bun Bunan Hutapea, Aslim Tadjuddin dan Direktorat Hukum Roswita Roza, memutuskan agar Dewan Pengawas LPPI diminta untuk menyediakan dana sebesar Rp 100 M, sesuai yang diperlukan BI. Penyediaan dana ini, seperti tertera dalam Keputusan RDG, terkait adanya kegiatan yang sifatnya insidentil dan mendesak di BI. Rapat juga menugaskan Deputi Gubernur BI Aulia Pohan dan Bun Bunan J. Hutapea untuk segera membicarakan pelaksanaannya dengan pengurus yayasan LPPI.

Tanggal 27 Juni 2003, Rusli Simanjuntak dan Oey Hoey Tiong mengajukan catatan kepada Deputi Gubernur Aulia Pohan dan Maman Sumantri. Isinya, mengajukan penarikan/penggunaan dana untuk bantuan diseminasi intensif kepada stakeholders tertentu mengenai BLBI senilai Rp 7,5 M, dalam dua tahap. Masing-masing Rp 2 M dan Rp 5,5 M dari alokasi Rp 50 M pertama yang disetujui sebagai pengucuran tahap pertama.

RDG lanjutan kembali digelar pada 22 Juli 2003. Nah, dalam rapat ini hadir Gubernur BI Burhanuddin Abdullah, para Deputi Gubernur –Anwar Nasution, Aulia Pohan, R Maulana Ibrahim, Maman Sumantri, Bun Bunan Hutapea dan Aslim Tadjuddin- serta direktorat Hukum Roswita Roza, Biro Gubernur Rusli Simanjuntak dan Direktorat Pengawasan Internal Puwantari Budiman.

Dalam rapat kali ini, Dewan Gubernur memutuskan realisasi penyisihan dana sebesar RP 71,5 M (RP 100 M dikurangi jumlah yang disetujui oleh Dewan Pengawasn LPPI untuk ditarik sebesar Rp 28,5 M). Selain itu, RDG juga memutuskan dibentuk Panitia Pengembangan Sosial Kemasyarakatan (PSK) guna melakukan penarikan, penggunaan dan penatausahaan dana tersebut.

RDG kali itu juga menetapkan pengurus PKPSK yang terdiri dari Aulia Pohan dan Maman Soemantri (Koordinator), Rusli Simanjuntak (Ketua) dan Oey Hoey Tiong (wakil ketua). Nah, PSK inilah yang kemudian melakukan penarikan dana Rp 71,5 M dari LPPI untuk selanjutnya menggunakan dana tersebut sesuai persetujuan koordinator. Artinya, semua kucuran dana selalu diketahui dan mendapat persetujuan Aulia Pohan dan Maman Soemantri selaku koordinator program.

Lihat saja. Pada hari itu juga, 23 Juli 2003, Rusli Simanjuntak mengajukan catatan kepada Deputi Gubernur Aulia Pohan dan Maman Soemantri -yang menurut hasil RDG ditunjuk sebagai koordinator PSK- untuk menarik dana YPPI sebesar Rp 71, 5 M.

Walhasil, saat dana mulai dikucurkan inilah, ketidakberesan mulai terjadi. Alokasi anggaran tidak sesuai peruntukan sebagaimana mestinya sebagai sebuah program PSK. Sumber dana akhirnya berasal dari YPPI sebesar Rp 71,5M dan dari BI sebesar Rp 42,7 M. Pengeluaran dana YPPI tentu saja langsung disetujui, lha wong dilakukan oleh Pengurus YPPI atas persetujuan Dewan Penasehat YPPI yang notabene juga anggota Dewan Gubernur.

Duit sebanyak itulah yang kemudian mengalir untuk dana bantuan hukum sebesar Rp 96,2 M, terdiri dari biaya pengacara Sudrajat Djiwandono, Iwan Prawiranata, Heru Supraptomo, Hendro Budiyanto, dan Paul Sutopo sebesar Rp 27,7 M dan para terdakwa senilai Rp 68,5 M. Masing-masing terdiri dari Sudrajat Djiwandono terima duit Rp 25 M, Iwan R Prawiranata Rp 13,5 M, serta Heru Soepraptomo, Heru Budiyanto dan Paul Sutopo, masing-masing mengantongi Rp 10 M.

Sebesar Rp 68,5 M dana bantuan hukum diberikan dalam bentuk cek yang diserahkan bertahap – masing-masing 7 Juli 2003, 10 Juli 2003, 13 Agustus 2003 dan 23 Agustus 2003- oleh Baridjusalam Hadi (Ketua YPPI) dan Ratnawati Sari (Bendara YPPI) langsung kepada Direktorat Hukum Oey Hoey Tiong selaku penanggungjawab urusan bantuan hukum ini.

Sebelum akhirnya, Oey Hoey Tiong menyerahkan uang itu secara cash tunai kepada Soedrajat Djiwandono lewat orang kepercayaannya Rustamadji. Sementara Iwan R Prawiranata, Heru Supraptomo, Paul Sutopo dan Hendro Budiyanto menerima langsung dari Oey Hoey Tiong.

Mantan Gubernur BI Syahril Sabirin dan Sudrajat Djiwandono serta sejumlah mantan pejabat BI yang menerima bantuan hukum, bebas dari jeratan ini lantaran dana bantuan hukum dianggap sudah sesuai aturan. Mereka yang menerima dana bantuan itu pun dianggap tidak bersalah karena sudah mengembalikan dana bantuan hukum itu ke bank sentral usai vonis pengadilan menerpa mereka.

Meski sebelumnya, Ditjen Imigrasi Dephuk & HAM sempat mencekal 17 nama para mantan pejabat BI


Mengalir ke ketua komisi?
Sekarang mari kita cerita ihwal keterlibatan mantan Biro Gubernur BI Rusli Simanjuntak. Ceritanya, Rusli Simanjuntak yang terakhir sebagai Kepala Biro BI Surabaya, ditunjuk selaku penanggungjawab pengucuran dana ke sejumlah oknum wakil rakyat di komisi IX DPR-RI periode 1999-2004. Sebuah komisi yang kala itu dikenal dengan sebutan komisi “basah”. Betapa tidak. Komisi itu membawahi bidang keuangan, perbankan dan lembaga keuangan non-bank.

Nah, dari ratusan milyar dana YPPI BI, menurut pengakuan Rusli Simanjuntak kepada BPK, dana yang diberikan kepada anggota wakil rakyat yang terhormat itu dalam rangka memperlancar penyelesaian permasalahan BLBI dan amandemen UU BI. Jumlah dana yang diserahkan kepada oknum anggota komisi IX senilai total Rp 31,5 milyar. Sebesar Rp 15 milyar untuk penyelesaian BLBI dan sebesar Rp 16,5 milyar untuk keperluan Amandemen UU BI.

Dana tersebut diserahkan diserahkan oleh pengurus YPPI kepada Rusli Simanjuntak dan Asnar Ashari (staff analis BI) sebelum akhirnya kedua dari mereka menyerahkannya kepada Antoni Zainal Abidin Penyerahan dana dilakukan bertahap pada tanggal 27 Juni 2003, 2 Juli 2003, 23 Juli 2003, 17 September 2003 dan 4 Desember 2003. Menurut yang bersangkutan, tulis Anwar Nasution kala itu, dana nantinya akan diserahkan kepada anggota DPR dan atau fraksi terutama di komisi IX yang terkait dalam penyelesaian permasalahan yang dihadapi BI saat itu.

Tidak cuma itu. Milyaran uang BI diduga mengucur kembali ke oknum anggota wakil rakyat sepanjang 8-21 September 2004. Dalam tempo kurang dari sebulan saja, BI keluarkan uang hingga Rp 4,53 milyar hanya untuk menjaga hubungan baik dengan para wakil rakyat. Rinciannya: Rp 500 juta (8/09/04), Rp 540 juta (21/09/04), Rp 2,65 M (29/09/04), Rp 75 juta (28/09/04), Rp 650 juta (21/09/04) dan Rp 120 juta (21/09/04). Alasan kerennya, dana itu untuk kepentingan pembahasan beberapa RUU dan pembahasan anggaran BI.

Selidik punya selidik, dana itu dimaksudkan untuk memasukan pasal-pasal krusial yang dianggap BI sebagai high cali seperti dalam RUU Lembaga Penjamin Simpanan, persetujuan anggaran BI kepada perwakilan fraksi-fraksi Komisi IX DPR-RI, sebagai hadiah bagi para anggota Panja seperti Panja RUU Kepailitan yang saat itu akan berakhir masa jabatannya, biaya untuk melakukan penundaan pembahasan amandemen RUU Perbankan, serta biaya pembahasan badan supervisi.

Lihat saja dalam dokumen Lembar Disposisi Pejabat yang dikirim Kepala Biro Gubernur Rizal A. Djaafara kepada Deputi Gubernur BI Aulia Pohan, tertanggal 8 September 2004.
Dalam suratnya, Rizal menulis: ”..Setelah berkoordinasi dengan para mantan anggota Panja RUU LPS yang akan menjabat kembali, telah disepakati untuk mengajukan RUU Likuidasi Bank sebagi RUU yang berdiri sendiri......”

Begini lanjutan surat Rizal kepada Aulia Pohan: ”Apabila Bapak berkenan, sebagai upaya sosialisasi pentingnya pembahasan RUU Likuidasi Bank pada masa persidangan selanjutnya dan dalam rangka upaya diseminasi pembinaan hubungan baik, kami mengusulkan penyampaian dana bantuan. Adapun besar dana bantuan, untuk awalnya kami usulkan sebesar Rp 500 juta..... Apabila Bapak berkenan, kami akan menindaklanjuti dengan Dhk ”

Apa yang terjadi selanjutnya? Rupanya, Deputi Gubernur Aulia Pohan menyetujuinya. Buktinya, BI mengucurkan dana Rp 500 juta ke parlemen untuk sosialisasi dan diseminasi pembinaan hubungan baik.

Kepala Biro Gubernur Rizal Djaafara kembali melayangkan surat ke Deputi Gubernur Bun Bunan Hutapea tertanggal 21 September 2004. Kali ini, Rizal meminta persetujuan Bun Bunan Hutape terkait bantuan dana Rp 540 juta untuk pertemuan informal yang melibatkan perwakilan fraksi-fraksi di komisi IX DPR. Acara yang menurut surat Rizal akan berlangsung di Hotel Mulia tanggal 21 September 2004 itu, dilangsungkan demi kepentingan persetujuan anggota dewan atas anggaran BI.

Surat Lembar Disposisi Pejabat juga sempat dilayangkan Rizal Djaafara kepada Deputi Gubernur Aulia Pohan tertanggal 21 September 2004. Rizal meminta persetujuan Aulia untuk dana bantuan sebesar Rp 650 juta untuk keperluan keberhasilan lobby dengan anggota Dewan terkait adanya penundaan pembahasan amandemen UU Perbankan.

Tidak cuma itu. Rizal Djaafara kembali melayangkan surat meminta persetujuan Deputi Gubernur Aslim Tadjuddin. Kali ini, jumlah dana yang diminta lumayan fantastis: Rp 2,65 M. Busyet deh. Buat apa lagi dana sebesar itu?

Dalam surat Lembar Disposisi Pejabat yang dikiriman Rizal tertulis:”...Menindaklanjuti telah usainya pembahasan RUU SPPN dan RUU Kepailitan dan telah disahkannya 2 RUU dimaksud pada Rapat Paripurna DPR-RI, dengan ini kami sampaikan..... 1. Seluruh high call pada 2 RUU dimaksud telah berhasil diakomodasi. Pada RUU SPPN telah diputuskan untuk menghapus klausa ”arah kebijakan moneter” sedangkan pada RUU Kepailitan telah diakomodasi kepentingan BI khususnya mengenai proses kepailitan suatu bank.”.

Rizal melanjutkan suratnya: ”..Diakomodasinya seluruh high call BI selain adanya dukungan bahan dan data, juga hasil lobby dengan seluruh anggota Panja yang terlibat.” Masih menurut surat memo Rizal kapada Aslim,”...mengingat sebagian besar anggota Panja akan berakhir masa jabatannya .......sebagai wujud dukungan serta membina hubungan baik, kami mengusulkan kiranya dapat disampaikan bantuan sebesar Rp. 2.650.000.000,00.”

Lantas, siapa oknum anggota komisi IX yang turut menerima dana BI? Mungkinkah Antony Zeidra Abidin dan Hamka Yamdhu sebagai pengepul dana bertindak sendirian?

Badan Kehormatan DPR mengaku telah mengantongi 16 orang oknum anggota DPR yang diduga menerima dana tersebut. Wakil Ketua Dewan Kehormatan DPR-RI Gayus Lumbun menegaskan bahwa KPK harus pula menindak tegas secara hukum kepada anggota parlemen yang terbukti menerima aliran dana BI. Hanya saja, menurut Lumbun, dana yang diterima DPR bukan Rp 31,5 M melainkan hanya Rp 28,5 M saja.

''Data yang kami miliki dari laporan LSM, 16 anggota Dewan diduga menerima dana tersebut, sembilan di antaranya merupakan anggota aktif. Sementara dari data yang kami peroleh dari KPK, sepuluh anggota DPR diduga menerima aliran dana BI. Namun, dari sepuluh anggota ini, dua di antaranya sudah tidak aktif di DPR karena sekarang merupakan bagian dari pemerintah,'' ujarnya.

Bagian dari pemerintah? Kalau begitu, mantan anggota Komisi IX yang kini berada di jajaran pemerintah hanyalah ada satu nama. Siapa lagi kalau bukan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/Ketua Bappenas Paskah Suzeta. Saat menjadi wakil rakyat periode 1999-2004, Paskah Suzeta adalah ketua Panitia Anggaran dan Ketua Komisi IX DPR-RI.

Benarkah Paskah Suzeta turut menerima dana BI? Seorang sumber di parlemen berkisah, urusan duit pembahasan undang-undang dan sejenisnya, tidak mungkin alirannya tidak sampai ke ketua komisi. Yang sekarang ditangkap KPK, kisah sumber itu, hanyalah pion-pion operator dari oknum wakil rakyat. ”Justru Ketua Komisi itu biasanya terima duit paling besar,” aku si sumber itu lagi.

Lantas, kenapa mereka para anggota dewan yang diduga turut terlibat tidak pernah diseret guna diperiksa KPK terkait skandal dana BI? Hanya KPK yang tahu.

Comments :

0 komentar to “SKANDAL DANA BI (2)”