SKANDAL DANA BI (1)



Obral Duit Ala Bank Sentral

Komisi Pemberantasan Korupsi di bawah komando Antasari Azhar langsung menunjukan taringnya. Tidak tanggung-tanggung. KPK mengguncang otoritas moneter dengan menetapkan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah dan dua pejabat BI lainnya sebagai tersangka kasus skandal aliran dana BI. Duit bank sentral dan YPPI sebesar Rp 100 M diduga mengalir kepada para mantan pejabat BI, sejumlah anggota komisi IX DPR-RI periode 1999-2004, serta oknum aparat penegak hukum.

Gedung Press Club di ibu kota negeri Paman Sam, Washington DC, 22 Oktober 2007, menjadi saksi. Hari itu, seisi ruangan dipenuhi ratusan bankir terkemuka dari berbagai belahan dunia. Global Finance Magazine, majalah terbitan Washington memberi anugerah “Best Central Banker Award” kepada lima bankir negara terbaik dunia tahun 2007. Yang membanggakan lagi, Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah adalah salah satu penerima award bergengsi itu, selain gubernur bank sentral Malaysia, Philipina, Taiwan dan deputi gubernur bank sentral Israel.



Global Finance Magazine melihat Indonesia berhasil menjaga stabilitas makro ekonomi selama tahun 2005. “Anggota Dewan Gubernur dan staff Bank Indonesia yang berjumlah 6.000 pegawai sebagai pihak yang pantas mendapatkan penghargaan ini,” jelas Burhanuddin seusai acara tersebut. Burhanuddin menambahkan, tahun 2008 akan menjadi tahun yang cukup berat bagi otoritas moneter Indonesia.

Prediksi pak Gubernur BI benar-benar terjadi. Tahun 2008 nyata-nyata menjadi tahun berat bagi otoritas moneter Indonesia. Cuma, masalahnya bukan lantaran sulitnya menurunkan kembali suku bunga atau tingginya tekanan inflasi, melainkan Gubernur Bank Indonesia resmi terjerat kasus skandal aliran dana BI.

Persis tiga bulan setelah penghargaan itu, otoritas moneter Indonesia tertampar di mata dunia. Betapa tidak. Gubernur BI Burhanuddin Abdullah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Gubernur dan dua pejabat BI lainnya – mantan Kabiro Gubernur Rusli Simanjuntak dan mantan Direktorat Hukum Oey Hioey Tiong- menjadi tersangka dalam kasus skandal aliran dana BI sebesar Rp 100 milyar.

Duit bank sentral yang mayoritas bersumber dari Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) diduga mengalir ke para mantan pejabat BI yang terjerat perkara korupsi, praktisi hukum dan oknum penegak hukum serta sejumlah oknum anggota Komisi IX DPR-RI periode 1999-2004. Segitu memang duit semua? Nggak. Sebagian berupa cek, sebagian lagi cash tunai.

Burhanuddin mengaku terpukul menyusul maraknya pemberitaan media massa soal dirinya ditetapkan menjadi tersangka. “Meskipun saya belum mendapat surat resmi dari KPK mengenai keputusan saya menjadi tersangka, tapi saya sangat terkejut, terpukul dan sedih sebagai manusia. Jadi itu manusiawi,” ungkap Burhanuddin sehari sebelum pengumuman resmi Ketua KPK Antasari Azhar. “Saya akan buktikan bahwa saya tidak bersalah. Saya akan menjalani proses hukum dan menunjuk penasihat hukum,” tambahnya.

Sejumlah pejabat bank sentral dari beberapa negara tetangga konon kabarnya langsung mengontak para pejabat Bank Indonesia. “Ada apa dengan bank sentral Indonesia?” begitulah kira-kira mereka bertanya-tanya ihwal kasus yang menjerat sang bankir negara terbaik 2007, Burhanuddin Abdullah, beserta dua anak buahnya.

Lepas dari kemungkinan gejolak moneter akibat dampak ditersangkakannya gubernur BI, yang pasti, skandal aliran dana BI ini telah menggelinding sejak akhir tahun 2006 lalu. Bahkan, kasus skandal dana BI sempat menjadi pertaruhan reputasi ketua KPK yang baru, Antasari Azhar. Maklum, banyak kalangan saat itu sempat meragukan keseriusan Antasari dan jajarannya melanjutkan proses hukum kasus yang sudah ngendog di kantor KPK sejak kepengurusan periode sebelumnya.

Terbongkarnya skandal ini bermula dari surat Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anwar Nasution kepada ketua KPK tertanggal 14 November 2006. Dalam surat berklarifikasi rahasia bernomor 115/S/I-IV/11/2006 itulah, Anwar yang juga mantan Deputi Senior Gubernur BI melaporkan hasil pemeriksaan BPK tahun 2004 atas pemberian bantuan hukum dan penggunaan dana YPPI pada Bank Indonesia.

Berdasarkan pemeriksaan atas Laporan Keuangan Tahunan BI tahun 2004, BPK menyimpulkan adanya penggunaan dana YPPI dan BI untuk keperluan bantuan hukum kepada mantan gubernur BI, mantan direksi BI, dan mantan deputi Gubernur BI yang terlibat dalam kasus BLBI, kredit ekspor dan kasus lainnya. BPK juga menemukan adanya indikasi hal-hal yang menimbulkan sangkaan tindak pidana korupsi dan penyuapan dalam penggunaan dana YPPI.

Wuih..wuih.... ing ngatase sebuah yayasan kok mampu kasih duit ke BI sampai Rp 100 milyar?

YPPI (dulu bernama Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia atau LPPI) adalah sebuah yayasan yang memiliki hubungan istimewa dengan BI, didirikan tahun 1977 dengan modal cuma sejuta perak yang bersumber dari pemisahan kekayaan BI. Selanjutnya, BI memberi sumbangan kepada YPPI secara bertahap hingga mencapai Rp 27,41 milyar. Dana itu pun beranak pinak hingga ratusan milyar rupiah. Yang pasti, YPPI adalah yayasan yang bergerak dalam bidang pendidikan dan bukan merupakan lembaga pemberi bantuan atau pinjaman kepada karyawan BI.

Lalu, bagaimana awal mulanya sehingga muncul skandal aliran dana ratusan milyar itu? Begini ceritanya. Pada 17 Maret 2003, tiga mantan direksi BI –Hendro Budiyanto, Heru Soepraptomo, Paul Sutopo – mengajukan surat kepada Dewan Gubernur BI. Isinya, ketiganya mengajukan permohonan dana operasional dan konsultasi hukum. Pada intinya, mereka meminta bantuan penggantian dana selama yang bersangkutan menjalani proses penyelidikan dan penyidikan dan pemeriksaan sebagai terdakwa kasus BLBI.

Gayung pun bersambut. Surat mereka ditanggapi oleh Dewan Gubernur yang pada 20 Maret 2003, langsung menggelar rapat dewan gubernur (RDG). Rapat yang dihadiri Gubernur BI Syahril Sabirin dan para deputi senior BI (Anwar Nasution, Miranda S. Goeltom, Aulia Pohan, Bun Bunan Hutapea, Maman Sumantri) serta Direktorat Hukum Oey Hoey Tiong memutuskan memberikan bantuan dana sebesar Rp 5 milyar kepada masing-masing mantan direksi BI tadi. Dana bantuan senilai total Rp 15 M itu dibebankan pada anggaran direktorat hukum BI. Dan, enaknya lagi, dana sebesar itu tidak perlu dipertanggungjawabkan penggunannya.

Alasannya, dalam pasal 6 Peraturan Dewan Gubernur BI tahun 2002 -yang kemudian diperbaharui di tahun 2004- BI memang berkewajiban memberikan bantuan perlindungan hukum dalam bentuk lain, selain bantuan penasehat hukum, kemudahan data dan informasi, bantuan keamanan. Lha, bantuk dalam bentuk lain yang dimaksud ya bantu duit itu tadi salah satunya.

Dus, sumbang menyumbang bantuan hukum ala bank sentral ini pun berlanjut. RDG kembali digelar di era Burhanuddin Abdullah. Persisnya, 3 Juni 2003, RGD yang dihadiri Burhanuddin Abdullah, Aulia Pohan, Bun Bunan Hutapea, Aslim Tadjuddin dan Direktorat Hukum Roswita Roza, memutuskan agar Dewan Pengawas LPPI diminta untuk menyediakan dana sebesar Rp 100 M, sesuai yang diperlukan BI. Penyediaan dana ini, seperti tertera dalam Keputusan RDG, terkait adanya kegiatan yang sifatnya insidentil dan mendesak di BI. Rapat juga menugaskan Deputi Gubernur BI Aulia Pohan dan Bun Bunan J Hutapea untuk segera membicarakan pelaksanaannya dengan pengurus yayasan LPPI.

Tanggal 27 Juni 2003, Rusli Simanjuntak dan Oey Hoey Tiong mengajukan catatan kepada Deputi Gubernur Aluia Pohan dan Maman Sumantri. Isinya, mengajukan penarikan/penggunaan dana untuk bantuan diseminasi intensif kepada stakeholders tertentu mengenai BLBI senilai Rp 7,5 M, dalam dua tahap. Masing-masing Rp 2 M dan Rp 5,5 M dari alokasi Rp 50 M pertama yang disetujui sebagai pengucuran tahap pertama.

RDG lanjutan kembali digelar pada 22 Juli 2003. Nah, dalam rapat ini hadir Gubernur BI Burhanuddin Abdullah, para Deputi Gubernur –Anwar Nasution, Aulia Pohan, R Maulana Ibrahim, Maman Sumantri, Bun Bunan Hutapea dan Aslim Tadjuddin- serta direktorat Hukum Roswita Roza, Biro Gubernur Rusli Simanjuntak dan Direktorat Pengawasan Internal Puwantari Budiman.

Dalam rapat kali ini, Dewan Gubernur memutuskan realisasi penyisihan dana sebesar RP 71,5 M (RP 100 M dikurangi jumlah yang disetujui oleh Dewan Pengawasn LPPI untuk ditarik sebesar Rp 28,5 M). Selain itu, RDG juga memutuskan dibentuk Panitia Pengembangan Sosial Kemasyarakatan (PSK) guna melakukan penarikan, penggunaan dan penatausahaan dana tersebut.

RDG kali itu juga menetapkan pengusur PKPSK yang terdiri dari Aulia Pohan dan Maman Soemantri (Koordinator), Rusli Simanjuntak (Ketua) dan Oey Hoey Tiong (wakil ketua). Nah, PSK inilah yang kemudian melakukan penarikan dana Rp 71,5 M dari LPPI untuk selanjutnya menggunakan dana tersebut sesuai persetujuan koordinator.

Pada hari itu juga, 23 Juli 2003, Rusli Simanjuntak mengajukan catatan kepada Deputi Gubernur yang ditunjuk sebagai koordinator PSK (Aulia Pohan dan Maman Soemantri) untuk menarik dana YPPI sebesar Rp 71, 5 M.

Walhasil, saat dana mulai dikucurkan inilah, ketidakberesan mulai terjadi. Alokasi anggaran tidak sesuai peruntukan sebagaimana mestinya sebagai sebuah program PSK. Sumber dana akhirnya berasal dari YPPI sebesar Rp 71,5M dan dari BI sebesar Rp 42,7 M. Pengeluaran dana YPPI tentu saja langsung disetujui, lha wong dilakukan oleh Pengurus YPPI atas persetujuan Dewan Gubernur yang juga anggota Dewan Gubernur.

Duit sebanyak itulah yang kemudian mengalir untuk dana bantuan hukum sebesar Rp 96,2 M, terdiri dari biaya pengacara Sudrajat Djiwandono, Iwan Prawiranata, Heru Supraptomo, Hendro Budiyanto, dan Paul Sutopo sebesar Rp 27,7 M dan para terdakwa senilai Rp 68,5 M. Masing-masing terdiri dari Sudrajat Djiwandono terima duit Rp 25 M, Iwan R Prawiranata Rp 13,5 M, serta Heru Soepraptomo, Heru Budiyanto dan Paul Sutopo, masing-masing mengantongi Rp 10 M.

Sebesar Rp 68,5 M dana bantuan hukum diberikan dalam bentuk cek yang diserahkan bertahap – masing-masing 7 Juli 2003, 10 Juli 2003, 13 Agustus 2003 dan 23 Agustus 2003- oleh Baridjusalam Hadi (Ketua YPPI) dan Ratnawati Sari (Bendara YPPI) langsung kepada Direktorat Hukum Oey Hoey Tiong selaku penanggungjawab urusan bantuan hukum ini.

Sebelum akhirnya, Oey Hoey Tiong menyerahkan uang itu secara cash tunai kepada Soedrajat Djiwandono lewat orang kepercayaannya Rustamadji. Sementara Iwan R Prawiranata, Heru Supraptomo, Paul Sutopo dan Hendro Budiyanto menerima langsung dari Oey Hoey Tiong.

Nah, menurut pengakuan pihak-pihak terkait di BI kepada BPK, dana tersebut sebagian besar kemudian diserahkan kepada sejumlah oknum penegak hukum di Kejaksaan Agung dan pengadilan yang mengurus perkara mereka masing-masing.

Lantas, siapa oknum penegak hukum yang diduga menerima aliran dana tersebut? Mari kita kalkulasi menurut itung-itungan praktek mafia peradilan yang biasanya kerap terjadi di negeri ini. Katakan saja kasus BLBI yang menjerat Soedrajad Djiwandono dan Iwan R Prawiranata, akhirnya berakhir dengan Surat Penghentian Perkara (SP3) di Kejaksaan Agung. Artinya, dalam kasus Soedrajad dan Iwan diduga keras ada oknum Jaksa yang kecipratan uang panas BI ini.

Sementara untuk kasus Heru Soepraptomo, Hendro Budiyanto dan Paul Sutopo, permainan uang diduga terjadi dalam proses persidangan di Pengadilan. Setidaknya, majelis hakim memang berwenang besar dalam urusan ketuk palu vonis penjara kepada para terdakwa. Dugaan ini memang masuk akal. Pasalnya, ketiganya akhirnya divonis cuma 1,5 tahun penjara. Hukuman yang nyata-nyata jauh lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Sebutlah Heru Soepraptomo dan Hendro Budiyanto yang dituntut JPU masing-masing enam tahun penjara, serta Paul Sutopo yang dituntut lima tahun penjara.

Dalam suratnya kepada KPK, Ketua BPK yang notabene juga mantan anggota Dewan Gubernur BI, Anwar Nasution menjelaskan, menurut keterangan pihak-pihak terkait di BI, sejak awal Dewan Gubernur BI sudah mengetahui tujuan penggunaan dana yang berasal dari YPPI adalah semata-mata untuk keperluan penyuapan penegakan hukum yang memproses kasus mereka para mantan direksi BI. Oleh karena itu, tulis Anwar lagi, YPPI telah dipergunakan sebagai tameng untuk keperluan operasi penyuapan penegakan hukum. Selain itu, alokasi penggunaan dana YPPI tersebut jelas-jelas melanggar UU No.16 Tahun 2001 tentang Yayasan.

Menurut Peraturan Dewan Gubernur Bank Indonesia No.4/13/PDG/2002 tanggal 22 Oktober 2002 sebagaimana telah diubah dengan PDG BI No.6/5/pdg/2004 dan PDG BI No. 7/11/PDG/2005, bantuan dana yang diberikan seharusnya memang dikembalikan apabila pejabat yang bersangkutan terbukti bersalah. Persoalannya, sulit dibayangkan, bagaimana caranya para mantan pejabat BI itu melunasi hutang sebesar itu.


Mengalir hingga parlemen

Celakanya, urusan skandal aliran dana Rp 100 milyar BI ini, tak hanya menyangkut para mantan pejabat BI, praktisi hukum dan oknum aparat penegak hukum semata. Aliran dana diduga melebar ke kalangan anggota dewan yang terhormat. Para wakil rakyat yang diduga menerima aliran dana BI adalah mereka yang saat 1999-2004, duduk di kursi komisi IX. Sebuah komisi yang kala itu dikenal dengan sebutan komisi “basah”. Betapa tidak. Komisi itu membawahi bidang keuangan dan perbankan.

Nah, dari ratusan milyar dana YPPI BI, menurut pengakuan Rusli Simanjuntak kepada BPK, dana yang diberikan kepada anggota wakil rakyat yang terhormat itu dalam rangka memperlancar penyelesaian permasalahan BLBI dan amandemen UU BI. Jumlah dana yang diserahkan kepada oknum anggota komisi IX senilai total Rp 31,5 milyar. Sebesar Rp 15 milyar untuk penyelesaian BLBI dan sebesar Rp 16,5 milyar untuk keperluan Amandemen UU BI.

Dana tersebut diserahkan oleh pengurus YPPI kepada Rusli Simanjuntak dan Asnar Ashari (direktorat hukum BI) sebelum akhirnya kedua dari mereka menyerahkannya kepada Antoni Zainal Abidin, yang saat itu menjabat sebagai ketua sub komisi perbankan di komisi IX DPR tahun 2003. Penyerahan dana dilakukan bertahap pada tanggal 27 Juni 2003, 2 Juli 2003, 23 Juli 2003, 17 September 2003 dan 4 Desember 2003. Menurut yang bersangkutan, tulis Anwar Nasution, dana itu nantinya akan diserahkan kepada anggota DPR dan atau fraksi terutama di komisi IX yang terkait dalam penyelesaian permasalahan yang dihadapi BI saat itu.

Tidak cuma itu. Dana BI diduga kembali mengucur ke oknum anggota wakil rakyat sepanjang 8-21 September 2004 sebesar Rp 4,53 milyar. Kali itu, dana diduga diperuntukan sebagai pengeluaran BI untuk kepentingan pembahasan beberapa RUU dan pembahasan anggaran BI.

Selidik punya selidik, dana itu dimaksudkan untuk memasukan pasal-pasal krusial yang dianggap BI sebagai high cali seperti dalam RUU Lembaga Penjamin Simpanan, persetujuan anggaran BI kepada perwakilan fraksi-fraksi Komisi IX DPR-RI, sebagai hadiah bagi para anggota Panja seperti Panja RUU Kepailitan yang saat itu akan berakhir masa jabatannya, biaya untuk melakukan penundaan pembahasan amandemen RUU Perbankan, serta biaya pembahasan badan supervisi.

Lantas, siapa oknum anggota komisi IX yang turut menerima dana BI? Badan Kehormatan DPR mengaku telah mengantongi nama-nama oknum anggota DPR yang diduga menerima dana tersebut. Wakil Ketua Dewan Kehormatan DPR-RI Gayus Lumbun menegaskan bahwa KPK harus pula menindak tegas secara hukum kepada anggota parlemen yang terbukti menerima aliran dana BI. Hanya saja, menurut Lumbun, dana yang diterima DPR bukan Rp 31,5 M melainkan hanya Rp 28,5 M saja.

Mengenai nama-nama penerima aliran dana itu, Lumbun mengatakan lembaganya segera memanggil 16 anggota serta mantan anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR yang diduga turut menerima aliran dana Rp 31,5 miliar dari Bank Indonesia pada 2003.

''Data yang kami miliki dari laporan LSM, 16 anggota Dewan diduga menerima dana tersebut, sembilan di antaranya merupakan anggota aktif. Sementara dari data yang kami peroleh dari KPK, sepuluh anggota DPR diduga menerima aliran dana BI. Namun, dari sepuluh anggota ini, dua di antaranya sudah tidak aktif di DPR karena sekarang merupakan bagian dari pemerintah,'' ujarnya.

Di sisi lain, mantan wakil ketua Komisi IX DPR-RI periode 1999-2004 Max Moein, membantah adanya aliran dana BI ke anggota parlemen. Max Moein yang kini bertugas di komisi XI DPR-RI ini mengaku tidak habis pikir bila BI menyuap anggota dewan untuk kepentingan pembahasan amandemen UU BI.

Menurut Moein, dalam pembahasan amandemen UU BI, justru banyak pasal krusial yang merugikan BI. Otoritas dan kewenangan BI yang sebelumnya sangat independen, justru terkurangi dengan adanya UU BI yang baru.

Setidaknya ada lima point hasil amandemen UU BI yang menurut Max Moein merugikan BI. Pertama soal Otoritas Jasa Keuangan (OJK). BI mengusulkan pelaksanaan OJK dilakukan pada tahun 2010. Sementara pemerintah mengusulkan tahun 2008. Dan, DPR ambil jalan tengah dengan menetapkan OJK dilaksanakan tahun 2010. Namun apabila memang pemerintah sudah siap, OJK bisa dilaksanakan kapan saja.

Kedua, amandemen UU BI berhasil membentuk Badan Supervisi. Sebuah lembaga yang bertugas mengontrol bank sentral, karena sebelumnya, tidak ada satupun pihak yang bisa mengawasi dan mengontrol kinerja BI.

Ketiga, mekanisme pencalonan deputi senior gubernur BI. Saat itu, BI berkeinginan bahwa pencalonan deputi senior gubernur BI cukup dicalonkan oleh Gubernur BI saja. Sementara hasil amandemen UU BI ditegaskan bahwa pencalonan deputi senior Gubernur BI tetap harus mendapat persetujuan pemerintah.

Keempat, BI berkeinginan agar tetap memiliki kewenangan memberikan kredit. Hasil amandemen justru melarang BI memberikan kredit. Dan kelima, amandemen melarang BI memiliki anak perusahaan.

“Bagaimana mungkin kami terima suap kalau hasil amandemen UU BI tidak sesuai keinginan BI?” tanya Max Moein. Jadi, tidak ada suap ke parlemen atau uang suap BI gagal meng-goal-kan pasal-pasal krusial ke anggota parlemen?

Apapun alasannya, ketua KPK Antasari Azhar mengaku tidak akan pernah pandang bulu kepada siapapun yang nantinya terbukti turut terlibat dalam kasus skandal dana BI ini. Dalam tahap penyelidikan, jelas Antasari, dugaan sudah mengarah adanya peran dua orang anggota parlemen tahun 2003 yang diduga menerima dana dari BI, yakni AZH dan HY. Namun, terkait aliran dana BI ke parlemen baru ditingkatkan dari tahap penyelidikan menjadi tahap penyidikan. “Dalam tahap penyidikan, kita tidak bisa lagi menduga-duga seperti dalam tahapan penyelidikan, sehingga kalau nanti memang ada bukti yang cukup kuat, kedua orang itu bisa saja menjadi tersangka,” tegas Antasari.

Comments :

2 komentar to “SKANDAL DANA BI (1)”
Anonim mengatakan...
on 

templatenya masih keren aja nih bos..........

Amisha mengatakan...
on 

Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut