Apa Kabar Jakarta?

Sekadar mengingatkan sejarah, dahulu kala di jaman Hindu pada abad kelima, Jakarta dikenal sebagai pelabuhan di muara Sungai Ciliwung, bernama Pelabuhan Sunda Kelapa. Pada abad ke-16, para pendatang Portugis datang ke Pelabuhan Sunda Kelapa dan mendirikan benteng pertahanan. Pada 22 Juni 1527 (ditetapkan sebagai hari jadi Kota Jakarta), Fatahillah menaklukan Sunda Kelapa dan mengganti nama menjadi Jayakarta.

Pada tahun 1619, VOC Belanda dibawah pimpinan Jan Pieterszoon Coen, berhasil menaklukan Kota Jayakarta dan menghancurkan benteng Jacatra yang dibangun koloni Inggris di Jayakarta. VOC Belanda pun mengganti Jayakarta menjadi Batavia hingga tahun 1942. Sebelum akhirnya, Negara Kesatuan Republik Indonesia merdeka dan menetapkan Kota Jakarta sebagai ibu kota negara.


Pertumbuhan penduduk kota Jakarta mulai menggeliat selepas Indonesia merdeka. Kota Batavia yang saat itu hanya seluas 2.500 hektar, pada tahun 1940 hanya berpenduduk 533 ribu jiwa, kian bertambah di tahun 1945 menjadi 600 ribu jiwa, lalu melonjak tajam mencapai 1,7 juta jiwa di tahun 1950.

Jakarta memiliki data tarik kuat bagi penanaman modal asing maupun dalam negeri. Apalagi, selama lebih dari tiga dekade pemerintahan Orde Baru nyata-nyata lebih memusatkan percepatan pembangunan ekonomi di ibu kota. Terbukti, lebih dari dua pertiga investasi asing dan 45 persen investasi dalam negeri berada di Jakarta.

Masuk akal bila selama itu pula, warga dari berbagai penjuru daerah di tanah air memburu Jakarta bak laron di musim penghujan, sebagai tumpuan mengais rejeki. Walhasil, penduduk Jakarta kian pesat dan padat dari tahun ke tahun.

Lonjakan jumlah penduduk nampak mulai terjadi sejak tahun tahun 1961 (2,9 juta jiwa), tahun 1971 (4,5 juta jiwa), tahun 1980 (6,5 juta jiwa), tahun 1990 (8,2 juta jiwa), tahun 2000 (8,3 juta jiwa) dan tahun 2005 (8,5 juta jiwa). Sementara per 10 Oktober 2006, penduduk Jakarta berjumlah 7.550.285 jiwa, dengan tingkat kepadatan penduduk mencapai 11.400/km persegi (sumber: Dinas Kependudukan & Catatan Sipil DKI Jakarta). Jumlah tersebut diperkirakan mencapai dua kali lipatnya di siang hari (office hours), mengingat para pekerja Ibu kota sebagian besar adalah penduduk Bodetabek.



Sebagai ibu kota negara, Kota Jakarta menjelma begitu rupa hingga tak ubahnya seperti kampung besar beragam carut marut dan kesemrawutan yang terjadi. Populasi jumlah penduduk akibat urban spread yang tak terkontrol, yang dibarengi dengan jumlah pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor sebesar 11% persen, di tengah penambahan jalan yang kurang dari satu persen pertahun (itupun hanya penambahan fly over & under pass).

Dari total jumlah penduduk sebesar 7,5 juta jiwa, sebanyak 25 persen diantaranya berkapasitas sebagai penduduk yang tergolong mampu menggunakan mobil pribadinya sebagai sarana transportasi. Sementara 75 persen sisanya, tergolong pengguna transportasi umum. Namun, begitu sebaliknya apa yang terjadi dengan pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor di Jakarta. Sebesar 75% jalan-jalan di ibu kota dipadati mobil-mobil pribadi dan hanya 25% diwarnai angkutan umum.

Data milik Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO) menunjukan, angka penjualan mobil lokal dan import di Indonesia sepanjang tahun 2006, menembus angka 352.567 unit. Gaikindo optimis angka penjualan mobil di tanah air akan terus meningkat hingga mencapai angka 750 ribu unit di tahun 2011 mendatang. Hampir separo pasar berada di Jakarta. Demikian halnya dengan data milik Asosiasi Industri Sepeda Motor yang menyebutkan pertumbuhan penjualan sepeda motor dalam lima tahun terakhir selama lima tahun terakhir ini rata-rata sebesar 37,37 persen. Dari penjualan 979.422 unit di tahun 2000 melesat hingga 4,6 juta unit di tahun 2005.

Sungguh sulit membayangkan apa yang akan terjadi dengan kemacetan Jakarta lima tahun mendatang. Seorang sukarelawan asing dan 17 mahasiswa arsitektur Universitas Indonesia, sempat melakukan survey di lapis pertama barisan gedung perkantoran sepanjang Jalan Thamrin-Sudirman. Sedikitnya, 165 ribu orang bekerja di areal tersebut. Dengan jarak kantor dan rumah tinggal yang relatif jauh, sebagian besar dari mereka menempuhnya dengan mobil pribadi.

Survey tersebut memilih Sudirman Square (dulu Wisma Danamon) sebagai sampelnya. Gedung Sudirman Square seluas 81.000 m² memiliki kapasitas parkir 1.600 mobil. Namun, menurut data harian di gedung itu, jumlah mobil tetap sebanyak 2.025 dan parkir tidak tetap rata-rata 247 per harinya. Jumlah 2.272 mobil adalah 42 persen lebih banyak dari kapasitas parkir seharusnya. Jika gejala ini terjadi pada 104 gedung perkantoran lapis pertama Jalan Thamrin-Sudirman, jumlah mobil sedikitnya mencapai 31.285 unit.

Jika jumlah mobil ini dideretkan seluruhnya di Jalan Thamrin-Sudirman (total 10 lajur), akan mencapai 15,7 km. Artinya hampir hampir dua setengah kali panjang jalan Thamrin-Sudirman yang hanya 6,3 km. Dus, jika deretan dimulai dari ujung selatan Jalan Sudirman, ujungnya akan melewati Pelabuhan Sunda Kelapa. Ingat, ini baru satu titik pusat kemacetan Jakarta. Masuk akal bila prediksi stagnasi Jakarta akan terjadi di tahun 2014 atau bahkan di tahun 2010. Andai itu terjadi, masyarakat dijamin tidak bisa lagi berkomunikasi secara fisik di jalan raya karena kepadatan arus kendaraan sudah terjadi mulai dari keluar pintu rumah dan kendaraan sama sekali tidak bisa bergerak di jalan raya. Entah berapa kerugian yang akan didapat kelak. Dalam sebuah kajian di tahun 2002 saja, kerugian akibat kemacetan lalu lintas, ditaksir mencapai Rp 12,8 Trilyun per tahun. Sudah bisakah Anda membayangkan Jakarta dengan kondisi ini?

Padahal, saat ini Jakarta tidak hanya dihadapkan pada persoalan kemacetan lalu lintas. Sebagai ibu kota negara, Jakarta juga menempatkan diri sebagai kota tertinggi tingkat kriminalitas dan peredaran miras serta narkoba, Jakarta juga masih menghadapi persoalan tingkat pengangguran, tingkat kematian dan kesehatan warga, tingkat ketersediaan air bersih yang kian menipis serta serta tingkat polusi udara dan air akibat sisa pembakaran BBM yang turut mempengaruhi perubahan iklim.

Bank Dunia menempatkan DKI Jakarta sebagai kota ketiga berpolusi udara terburuk setelah Meksiko, Bangkok dan Thailand. Upaya penilaian udara terbersih dan terbersih terhadap kota-kota di dunia ini dilakukan oleh bank dunia sejak lima tahun lalu. Kondisi itu, sudah tidak lagi sesuai dengan kondisi udara Jakarta saat ini. Menurut laporan Bank Dunia, kerugian dari buruknya kualitas udara di tahun 1990 mencapai 62 juta US dollar. Jika kondisinya memburuk di tahun ini, maka di tahun 2008 mendatang, kerugian yang akan diderita bisa mencapai 222 juta US dollar.

Sementara, berdasarkan catatan BPLHD DKI Jakarta di tahun 2006, persentase kualitas udara tidak sehat di Jakarta meningkat dari tahun sebelumnya. Apabila pada tahun 2005 ditemukan 18 hari udara berkualitas tidak sehat, maka di tahun 2006, terdapat 51 hari atau 14,25 persen udara Jakarta dalam kualitas tidak sehat.

Di sisi lain, Jakarta juga dihadapkan pada pelaksaan pembangunan tata ruang kota yang tidak sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK), pembangunan fisik yang tidak peduli lingkungan, alih fungsi lahan seenaknya dan mudahnya pemberian ijin mendirikan bangunan, kian membuat tata ruang terbuka hijau yang berfungsi sebagai resapan air, nyaris lenyap.

Taman-taman kota yang masih berdiri megah di Jakarta dan masih berperan sebagai daerah resapan air dan ruang terbuka bagi publik, semuanya jelas-jelas merupakan peninggalan jaman penjajahan Belanda. Sebut saja Lapangan Banteng (Parade Plaats/Waterlooplein, 1799), Taman Silang Monas (Koningsplein,1809), Taman Surapati (Bisschoplein, 1926), dan Taman Situ Lembang (1926). Satu taman kota tinggalan jaman pasca kemerdekaan adalah Kawasan Tugu Monumen Nasional. Itu pun belakangan dikelilingi pagar besi dan tembok. Sementara kawasan Gelora Bung Karno, kini lebih banyak dihiasi pusat perbelanjaan kelas dunia ketimbang pepohonan hijau nan rindang. Sebagai gambaran berbagai persoalan yang tengah menerpa dan akan terus menghadang Ibu Kota Jakarta, berikut adalah Tabel Jakarta Kini yang dirangkum dari berbagai sumber.

Comments :

0 komentar to “Apa Kabar Jakarta?”