Banjir Jakarta: Bencana atau Human Error?


Memasuki usianya yang ke-480 tahun, Jakarta kembali di landa banjir besar pada Februari lalu. Ini adalah banjir terbesar sejak jaman Batavia hingga sekarang. Sedikitnya dua pertiga wilayah Jakarta dan sekitarnya terendam air. Banjir terasa perlu untuk kita ulas dalam diskusi kali ini. Pasalnya, banjir Jakarta adalah potret dari berbagai aspek pengelolaan ibu kota. Mulai dari ketidakberesan RUTRK, ketidaksinambungan kebijakan pencegahan banjir, hingga mentalitas masyarakat yang tak peduli lingkungan dengan membuang sampah ke aliran sungai.


Di sisi lain, kerugian akibat banjir 2007 ini pun tak kelewat mencengangkan. Menurut Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Ketua Bappenas Paskah Suzeta, kerugian total akibat Banjir Jakarta mencapai Rp 8,8 Trilyun. Melonjak jauh dari kerugian akibat banjir tahun 2002 lalu (lihat tabel). Taksiran kerugian dihitung dari dampak langsung Rp 5,2 triliun dan dampak tidak langsung Rp 3,6 triliun. Kerugian sebesar itu terbagi ke dalam berbagai sektor, seperti sektor ekonomi produktif, UKM, Industri elektronik dan otomotif, kerusakan infrastruktur, sektor perumahan dan kerugian tidak langsung berdasarkan potensi hilangnya pendapatan atau keuntungan akibat terhentinya aktifitas usaha. Untuk kerusakan jalan, jembatan dan prasarana air, Pemprov DKI menaksir kerugian akibat banjir mencapai Rp 323 Milyar. (Media Indonesia, 22/02/07).

Lantas, akan halnya kendala anggaran bagi program komprehensive pencegahan banjir, kesulitan anggarankah pemerintah dalam menopang kerugian pasca banjir? Ternyata tidak. Dana untuk penanganan pasca banjir nyatanya sigap disediakan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi DKI Jakarta.

Melalui suratnya Nomor 903/192 tertanggal 20 Februari 2007, Menteri Dalam Negeri menginjinkan Pemprov DKI mengeluarkan anggaran dari APBN 2007 yang diprioritaskan untuk Program Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan sebesar Rp 267 miliar dan anggaran rehabilitasi sekolah yang terkena banjir, meski APBD belum disahkan.

Tidak hanya itu. Pemerintah Pusat menganggarkan dana sebesar Rp 6,5 triliun bagi penanggulangan banjir dan pemulihan infrastruktur pasca banjir di Jakarta yang akan diluncurkan mulai tahun ini hingga 2009. Hal tersebut merupakan instruksi langsung dari Wakil Presiden serta telah mendapat persetujuan Menteri Keuangan. Dana tersebut diluar dana yang dialokasikan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang bila digabung mencapai Rp9,5 triliun.

Seperti dikutip www.pu.co.id, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto mengatakan: “2007 dianggarkan sebesar Rp2 triliun, sementara 2008 dan 2009 masing-masing Rp3 triliun dan Rp1,5 triliun. “Dari dana tersebut, salah satu fokusnya adalah penyelesaian pengerjaan proyek BKT sebesar Rp60 miliar. Pemerintah Pusat siap mengalokasikan bantuan dana bagi pembebasan lahan BKT sebesar Rp 800 miliar melalui APBN 2007. Sementara anggaran yang ditanggung Pemprov DKI untuk pembebasan lahan sebesar Rp. 1,8 triliun.”

Di sisi lain, proyek pembangunan Banjir Kanal Timur yang sudah dimasukan sejak Master Plan 1973, hingga kini belum juga selesai. Andai saja pemerintah sejak dulu serius mengalokasikan anggaran negara untuk pembangunan BKT yang ditaksir menelan biaya Rp 8 trilyun (Rp 1,5 triliun lebih kecil ketimbang total anggaran pasca banjir 2007), tentu saja BKT tak keburu out of date bila kelak selesai dibangun di tahun 2009. Pasalnya, kini BKT tidak lagi menjadi satu-satunya solusi yang bisa menjadikan Jakarta bebas banjir. Betapa tidak? Selama proyek BKT terbengkalai hampir empat dekade, selama itu pula penyimpangan rencana umum tata ruang kota terus terjadi. Walhasil, kondisi fisik Jakarta pun kian banyak berubah.

Kebijakan pencegahan banjir Jakarta nyatanya dilakukan dengan cara tambal sulam dan tidak berkesinambungan. Sudah begitu, alokasi anggaran pencegahan banjir yang rendah, inkonsistensi pelaksanaan tata ruang dan diskontinuitas program pengendalian lingkungan yang dibarengi masih rendahnya kualitas disiplin masyarakat dalam memelihara kebersihan sungai dan saluran-saluran air, membuat Jakarta justru kian sering terancam Banjir. Jika tidak ada program yang komprehensive dan terencana, bukan mustahil, banjir besar lantaran siklus lima tahunan tidak akan pernah ada di Jakarta. Yang ada, kelak banjir besar akibat siklus setahun sekali.

Mengharapkan Jakarta bebas dalam sekejap tentu saja bak pungguk merindukan bulan di siang hari. Tapi membiarkan Banjir Jakarta begitu saja dan menganggapnya sebagai bencana dan takdir karena secara geogragis, Jakarta terhampar di dataran rendah, itu juga tidak semestinya dilakukan oleh akal sehat manusia. Upaya itu harus ada dan harus ditunjukan kepada publik Jakarta mulai dari sekarang. Itu pula sebabnya, kenapa program yang terencana, berkesimbangungan dan menyeluruh dirasa perlu sebagai penangkal banjir Jakarta. Dibutuhkan niat untuk melakukannya secara bertahap, mulai dari program jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang.

Betapa karut marutnya kota Jakarta jika setiap kawasan pemukiman dan kelompok masyarakat berupaya mencegah banjir dan melindungi kawasan mereka sendiri. Itulah yang kini terjadi. Warga di kawasan Pluit, Jakarta Utara, misalnya, secara gotong royong meninggikan tanggul dan mengadakan pompa penyedot air. Sebuah hotel di kawasan Sudirman, misalnya, bebas dari banjir 2007 lantaran memasang pompa penyedot air. Aksi-aksi kelompok dan kawasan seperti itulah yang belakangan merebak di ibu kota. Coba kalau ada program pemerintah yang terencana dan menyeluruh, kecenderungan warga untuk mencegah banjir secara parsial dengan melindungi kawasan mereka sendiri, tentu saja tidak akan pernah terjadi.

Sulit rasanya untuk mengakui bahwa pemerintahan penjajah VOC Belanda lebih serius dalam mencegah Jakarta terkena banjir. Namun, fakta menunjukan, sistem makro drainase kota yang ada di Jakarta, tidak lain adalah peninggalan jaman Belanda. Sebut saja Banjir Kanal Barat, dua bendungan di wilayah hulu Bogor, sistem drainase kota dan desain tata ruang kota bagi pemukiman bebas banjir seperti Menteng dan Kebayoran Baru, semuanya adalah peninggalan VOC Belanda.

Comments :

0 komentar to “Banjir Jakarta: Bencana atau Human Error?”