BEREBUT MACAN, TAK MAU OMPONG

Masih ingat pro kontra revisi PP Penyiaran antara pemerintah dan Komisi Penyiaran Indonesia? Sekelumit tulisan ini adalah kenimbrunganku di milis sebelah yang –akhir tahun lalu itu- lagi getol berdiskusi tengan sejumlah PP penyiaran yang tengah digodok para anggota dewan terhormat.Saya tergoda nimbrung ichwal pro kontra PP Penyiaran. Kalau soal kontroversi penundaan sejumlah PP penyiaran di DPR adalah akibat dari berebut wewenang antara KPI dan Depkominfo, rasanya memang itulah faktanya.

Dalam urusan ini, Depkominfo dan KPI tak lebih sekadar berebut macan, tak mau ompong.Tapi, kenapa pula geram dengan perbedaan pendapat untuk kasus ini. Toh, tak akan ada artinya, siapa pun lembaga yang nantinya berwenang memberi jin yang diributkan itu. Mau KPI, Depkominfo, bahkan Asosiasi Televisi sekalipun, rasanya kok nggak akan banyak berpengaruh.

Soal intervensi apalagi untuk kepentingan politik dan pemerintah hingga menjadi alat pemerintah, siapapun lembaganya bisa terjadi. Justru persoalan krusial yang kelewat urgent diabaikan begitu saja. Indikasinya sederhana saja. UU Penyiaran jelas-jelas sudah ada sejak dua tahun lalu. Peraturan pelaksanaannya pun sudah diterbitkan.

Sayangnya, sebagai pemegang amanat UU, KPI tak jua unjuk gigi menjalankan kewenangannya.Sebutlah beragam nuansa pornografi televisi, berita criminal & tayangan kekerasan lainnya, hingga mistik show yang jor-joran dan dibiarkan begitu rupa. Padahal, dampaknya kelewat mengerikan. Utamanya pada anak-anak kita. Minimnya (kalau tak boleh dibilang nol) tayangan anak-anak yang cerdas, mendidik dan berkualitas, kian memperburuk pengaruh negatif acara televisi kita pada anak-anak.

Tak hanya sekadar ngemil makanan tak sehat, merengek minta fast food, anak menjadi pemarah & pendendam atau fasih menyanyi lagu-lagu radja & peterpen, yang menjadi keseharian anak anak kita sekarang. Hampir pasti, mayoritas acara-acara tv yang kurang mendidik bahkan telah menjadi stimulus perilaku fisik dan psikis yang menyimpang pada anak atau bahkan orang dewasa sekalipun.

Seorang kawan di milis sebelah menyebut, ada seorang produser tv swasta yang mengaku melarang anaknya sendiri menonton produksi tv yang dibuatnya. Artinya, si ayah yang kebetulan produser tv itu tahu sedang berbuat dan melakukan apa.Ini adalah bukti kasat mata dampak industri televisi. Rakyat yang mana yang dirugikan? Jawabnya jelas: rakyat kebanyakan, minus kapitalis atau industrialis yang membabi buta mengatasnamakan itu sebagai selera rakyat (pasar). Baik kapitalis maupun industrialis, toh itu juga rakyat.

Jadi, tanpa harus anti industri dan kapitalis, kritik sehat tetaplah perlu, apalagi di Negara demokrasi. Itulah guna kelompok rakyat yang sedikit tahu akibat industri tv yang tak disadari oleh rakyat kebanyakan yang notabene menjadi korbannya. Bicara dampak tadi, bukankah itu semestinya wilayah kekuasaan dan kewenangan KPI atau Depkominfo atau Asosiasi TV atau apalah namanya?KPI Membelenggu Kerja Jurnalistik?

Di sisi lain, di tengah pekerjaan besar nan urgent itu, yang nampak justru KPI telah mengebiri peran dan tugas utama pers, dalam hal ini video/audio journalist. Saya berharap saya salah menafsirkan hal ini.Coba kita lihat Keputusan KPI Nomor 009/SK/KPI/8/2004 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran.(Maaf, saya hanya fokus pada satu pasal dari SK tersebut yang menurut saya sangat berpotensi membelenggu kerja jurnalistik (toh SK ini juga mengatur news/berita sebagai salah satu jenis program penyiaran).

Adalah Bab III tentang Program Faktual, pasal 21 tentang Rekaman Tersembunyi. Meski bersayap, masih lumayan lega membaca ayat a yang menyebut: siaran rekaman tersembunyi hanya diijinkan bila menyangkut kepentingan publik atau mendapat ijin dari subyek yang direkam dan tidak merugikan pihak tertentu..

Tapi, bagaimana dengan ayat b, yang berbunyi: perekaman tersembunyi hanya diperbolehkan di ruang publik. Nyaris mustahil bila deal-deal politik dan atau uang yang menyangkut kerugian negara/publik yang dilakukan para oknum pejabat negara dilakukan di ruang publik. Sebutlah kalau saya kebetulan diajak Khairiansyah bertemu Mulyana di kamar hotel, lalu saya membawa spy camera. Meski ada unsure kepentingan publik, tapi terjadi di ruang privat, apa lantas melanggar UU Penyiaran bila rekaman tersembunyi itu ditayangkan?

(Menurut saya, rekaman tersembunyi kerapkali diterapkan dalam peliputan investigasi, yang secara ideal justru berupaya mengungkap hal-hal yang memang dengan sengaja disembunyikan. Maaf pula, saya adalah aliran yang menyebut spy camera/hidden camera sebagai sesuatu yang sah-sah saja dalam peliputan investigasi, sepanjang mengandung unsure kepentingan public, kerugian public dan atau kerugian Negara, sehingga wajib hukumnya diungkap di hadapan public).

Ayat c menyebut: dalam menyiarkan materi rekaman tersembunyi, lembaga penyiaran bertanggungjawab untuk tidak melanggar privasi orang-orang yang kebetulan terekam dalam materi tersebut. Lantas, bagaimana kalau kebetulan orang-orang itu adalah oknum pejabat publik/negara? Jelas privasinya terganggu. Tak boleh disiarkan?

Terakhir, ayat g: rekaman tersembunyi dengan penyadapan telepon tidak boleh disiarkan oleh lembaga penyiaran kecuali materi dimaksud merupakan barang bukti dalam pengadilan yang telah mendapatkan keputusan hukum tetap.So, matilah peliputan investigasi televisi/radio di indonesia.

Bila menuruti SK KPI ini, wartawan televisi/radio, hanya boleh menyiarkan barang bukti yang sudah membuahkan keputusan hukum tetap. Melakukan investigasi sendiri? No way!!

Padahal, di bagian lain, Pasal 59 yang menyebut: Lembaga penyiaran dilarang menyajikan program yang memuat berita, bahasan atau tema yang mengandung pembenaran terhadap tindak korupsi.

Dalam hal ini, saya kok setuju amandemen UU Penyiaran, tapi lebih menguatkan pasal-pasal yang terkait denganpenyiaran tak mendidik dan tak berkualitas tadi. Tentu itu lebih urgent ketimbang menjaga pasal-pasal karet yang berpotensi membelenggu kerja jurnalistik. Andai ini terjadi, entah KPI, DEPKOMINFO atawa ASosiasi Tv yang nantinya diberi amanat UU, akan tereposisi dengan sendirinya. Mudah-mudahan saya salah menafsirkan aturan ini.

Comments :

0 komentar to “BEREBUT MACAN, TAK MAU OMPONG”