Mas Eryoen, yang gerah dan geram itu siapa? Hehehe…tapi saya akui saya sedikit terpancing. Gemas kalau ada yang suka mengatasnamakan rakyat.rakyat yang mana? Yang bisa masuk kategori suara rakyat di republik ini baru pemilu lalu. Terutama pemilu Presiden. Setidaknya, dengan segala kekurangannya pemilu itu dianggap pemilu langsung pertama dan sukses. SBY dan JK dipilih langsungoleh lebih dari 60% pemilih.
Lainnya, siapapun yang suka mengatasnamakan rakyat itu menurut saya bohong besar lah. Termasuk proses pemilihan orang via DPR, banyak distorsinya. Cuma kuat-kuatan lobi dan kepentingan saja. Kita sudah tahulah kualitas DPR kita. Kalau mereka kembali ke daerah pemilihannya, banyak yang tidak dikenal. Karena pemilu legislative kan masih ada intervensi partai dalam penentuan nomor urutnya. DPR pun tidak bisa mengklaim mewakili aspirasi rakyat.
Saya juga gemes kalau orang belum baca betul, sudah mengambil kesimpulan. Makanya, ketika PP itu keluar, lalu ada sejumlah wartawan yang wawancara saya, saya tanya dulu mereka, “sudah baca PP-nya belum?”. Ternyata belum. Termasuk wartawan dari media besar. Mereka cuma dapat statement dari KPI dan pakar lalu minta komentar pihak industri. Yang saya lakukan adalah menunjukkan PP itu kepada teman-teman wartawan, pasal mana yang mereka tanyakan, kami baca sama-sama. Benarkah pemahaman awal mereka, adalah cerminan dari bunyi pasalnya.
Banyak problem akurasi dalam pemberitaan media massa soal ini (saya pahami perasaan ini karena hadirnya televisi memang ancaman bagi media cetak). Ada salah satu media nasional menulis berita mengutip statement Pak Jakob Oetama yang mengatakan, “DPR, MPR dan DPD harus menegur Presiden soal PP 50”. Semacam itu. Ketika saya cek ke Pak Jakob, pimpinan Kompas, mereka kaget. Belum pernah bertemu dan diwawancarai wartawan Koran yang bersangkutan.
Saya lalu protes kepada pimpinan medianya. Pimrednya mengaku wartawannya punya rekaman wawancara itu, tapi janji akan mengecek. Kabar terakhir yang saya dapat dari pimpinan Kompas, wawancara itu dilakukan saat press conference yang dilakukan MPPI, dimana hadir juga wakil dari SPS. Di meja SPS memang tercantum nama Jakob Oetama sebagai ketua umum SPS. Tapi beliau tidak hadir di situ. Jadi, siapa yang diwawancarai wartawan yang bersangkutan? Wallahu alam.
Ada kasus lain, wartawan bertanya, “Dalam PP itu KPI kan sama sekali tidak dilibatkan dalam proses perijinan?”. Saya tanya balik, apakah sudah baca PP-nya? Jelas belum. Lalu saya tunjukkan, pasal-pasal di mana KPI terlibat dalam proses perijinan, apapun bentuknya. Juga bahwa penentuan pemberian ijin atau perpanjangan ijin diambil dalam forum rapat bersama antara pemerintah dan KPI. Kalau forum sepakat, maka menteri atas nama pemerintah tinggal meneken saja surat ijinnya. Wartawannya baru paham.
Banyak contoh. Tapi, terus-terang kami (termasuk saya) sudah agak malas menanggapi. Berwacana melulu. Rebutan kekuasaan saja intinya. Bagi kami yang penting ada landasan hukum untuk bekerja dan bergerak. Bagi KPI harusnya ini dipandang sebagai landasan hukum untuk memberlakukan P3SPS secara lebih serius. Makanya, kalau ada yang keberatan, mbok menempuh jalur hukum saja. Judicial review ke MA. Kalau rame-rame di DPR, ya tidak akan dapat kekuatan hukum apa-apa. Cuma menang politis dan opini public. Dalam sebuah pertemuan antara pimpinan ATVSI dengan anggota Komisi I DPR, ada anggota DPR yang bilang,”KPI adalah anak kandung DPR. Benar atau salah kami pasti akan bela KPI.” Anggota itu, juga tema-temannya lantas bilang UU 32/2002 memang penuh kekurangan. Jadi, kita usulkan amandemen saja. Yang bicara begini termasuk Effendi Choirie yang hadir dalam pertemuan itu. Ucapan amandemen ini juga munculd alam pertemuan di DPR setelah PP keluar. Look, dulu mereka bela UU habis-habisan. Sekarang, ketika tiba saat pelaksanaan dan keluar PP yang setengah mati menerjemahkan UU yang penuh cacat itu, mereka bilang UU-nya banyak masalah. Apakah ini bukan menjilat air ludah sendiri? Orang-orangnya sama lho.
Konyolnya, kog bisa rapat dengar pendapat DPR dan Menteri memutuskan untuk menunda pemberlakuan PP. Aturan dari mana? Menterinya juga tidak mematuhi aturan hukum. Cuma gara-gara capek meladeni DPR. Yang bisa menunda pemberlakuan PP hanya pemerintah atau Presiden. DPR tidak punya kewenangan apapun terhadap PP. Ini DPR juga gombal dan tidak mengerti aturan perundang-undangan. Bahkan dalam rapat itu ada anggota DPR yang bilang, “keputusan MK yang cuma 5 orang (padahal MK ada 9 orang) tidak bisa membatalkan keputusan 500 orang anggota DPR.” Gila. Benar-benar tidak mengerti hukum. Yang membentuk MK kan merea juga. Membuat UU MK juga mereka. Sekarang yang tidak mematuhi putusan MK mereka juga.Gerah? Gemes? Geram? Sedikit lah. Karena sudah salah kaprah begini.Saya kira, Dewan Pers belajar banyak dari semua ini. Makanya sampai sekarang kami di Dewan Pers tidak mau diberi kewenangan lebih dari yang sekarang. Kekuasaan yang berlebihan akan cenderung disalahgunakan. Itu kata sejarah lho.
Thanks
Uni Lubis
KOMENTAR MBAK UNI
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comments :
Posting Komentar