IBU MILA...., Kalau untuk urusan -maaf- pantat, paha dan dada, termasuk di dalamnya merekam/ memfoto tokoh (siapapun dia) saat berselingkuh atau berbuat mesum, tentu saja tak ada sedikitpun kepentingan publik/negara yang dirugikan. So, saya sangat sepakat bahwa itu memang harus dilarang.
Tidak terkecuali video rekaman para pejabat negara/publik yang tengah beradegan mesum sama cewek simpanannya. Meski dia pejabat publik, tak ada kerugian negara/publik di dalamnya. Apalagi, kaset rekaman tersembunyi itu telah dengan sengaja diedarkan secara luas demi kepentingan politik tertentu. misalnya: tools lawan politik menjelang pilkada, dsb. Saya kira memang tdk ada urgensinya pers memuat ke hadapan publik hal-hal seperti itu.Sayangnya, penggunaan spy camera/foto/rekaman tersembunyi, tidak hanya digunakan untuk merekam adegan kamar mandi dan sejenisnya itu. Ada peliputan lain yang justru lebih bermakna bagi hajat hidup orang banyak dengan menggunakan spy/hidden camera.
Sebagai tools, meski bukan the ultimate tools dalam kerja investigasi jurnalistik, bagi wartawan tv/radio, spy camera/hidden camera menjadi kelewat krusial dan utama dalam peliputan investigasi menyangkut korupsi, misalnya. Mungkin ni tidak menjadi penting dalam investigasi jurnalistik cetak. Toh dia tetap bisa mengisahkannya detail dengan tulisan panjang lebar.Menurut saya, kok menjadi perlu dalam SK KPI itu dipilah secara rigid dan jernih perihal penggunaan kamera/rekaman tersembunyi. Jangan lantaran melindungi dada dan paha selebrities/tokoh/public figure, lantas imbasnya berpotensi mengekang kepentingan lain yang lebih besar.
Jika tidak, saya berdoa semoga apa yang diharapkan pak Bondan terjadi di negeri ini. Melakukan peliputan investigasi (televisi) dengan persona. Sehingga kita bisa ketuk pintu dan perkenalkan diri baik-baik kepada narasumber. Meski kita sadar, nyaris mustahil itu terjadi.
Dalam hal ini, kita sudah sepakat bahwa ini menyangkut peliputan penyiaran tv/radio bukan media cetak. Bayangkan, andai kita tahu Suyitno Landung mau diperiksa dan ditahan jauh-jauh hari, lantas saya harus ketuk pintu dan: "Pak Landung, mohon ijin, saya besok pagi mau shot bapak berangkat ke pemeriksaan." Atau misalnya Khairiansyah memberi kabar pada saya besok dia mau disuap Mulyana. Lalu saya ketuk pintu ke Mulyana:"Mas, besok mau ketemu Khairiansyah? Saya shot ya?" Nyaris mustahil.....hehehehehe......
Seorang senior saya berkomentar kepada saya soal ini. "Siapa, lu? Wartawan emang siapa? Manusia biasa yang tidak juga kebal hukum dan bisa melakukan apa saja kepada narasumbernya." Tapi saya keukeuh, sepanjang itu mengandung kepentingan publik/ada unsur kerugian publik dan atau negara, kenapa tidak? Mungkin terasa klise dan menjadi sok idealis atau bahkan kelewat utopis? Ah, biarin aja....Soal video/audio rekaman belum bisa menjadi barang bukti, menurut saya kian mempertegas SK KPI bahwa rekaman tersembunyi tak boleh disiarkan. Dalam pasal SK KPI jelas, bahwa rekaman tersembunyi dengan penyadapan telepon tidak boleh disiarkan oleh lembaga penyiaran kecuali materi dimaksud merupakan barang bukti dalam pengadilan yang telah mendapatkan kekuatan hukum tetap.
Padahal, dalam kerja jurnalistik utamanya peliputan investigasi, menurut saya kok tidak pada target untuk mendapat barang bukti material yang dianggap sahih oleh hukum/pengadilan. Yang penting kita mendapat fakta jurnalitik dan memenuhi kaidah-kaidah jurnalistik. Tapi, apa boleh buat. Mari kita tunggu rekaman disahkan ditetapkan bisa sebagai barang bukti.
Ibu Mila, saya berharap dan berdoa, sebagai lembaga independen yang dilindungi UU, KPI memiliki kekuatan tangan besi yang dengan otoritas penuh tidak perlu takut pada konglomerat tv/radio. MIntalah wewenang untuk bisa melaporkan kasus-kasus lembaga penyiaran yang tidak berkualitas itu (pornografi, kekerasan, kriminal, mistik dsb) kepada aparat penegak hukum. Tentu, tanpa mengebiri dan membelenggu kerja jurnalistik yang berpihak pada publik.
Terakhir, Bu Mila, teruslah berjuang. Lindungi anak-anak kita. Saya sepakat, jangan sampai menjadi Ligna, yang "kalau sudah duduk, lupa berdiri." Lawanlah iklim industri televisi yang: "tak ada rotan, ram pun jabi. Semoga kelak setelah sengketa PP Penyiaran usai, pepatah pun berbalik: ADA KPI, RAM PUN MATI!!!
MBAK UNI, saya setuju soal akurasi berita yang sedikit banyak berkurang kadar validitasnya. So, itu tugas Ibu Uni dan petinggi media lainnya untuk menggembleng terus wartawannnya sehingga mampu akurat dan obyektif.Ketidakakuratan tidak hanya pada urusan substansi masalah, tapi sudah pada pernik-pernik yang juga penting, seperti penulisan nama, pangkat dan sejenisnya. Saya jadi ingat cerita saat Machfud MD datang ke KPK (kalau nggak salah). Setelah wawancara panjang lebar, ada salah seorang wartawan tv bertanya pada MAHFUD: Pak, maaf, bapak ini siapa? Duh,...Mudah-mudahan bukan wartawan TV7 deh...hehehe...Pun begitu soal amandemen UU yang identik dengan gombal politik dan jual beli pasal. Tentunya kita masih ingat saat RUU Penyiaran dengan alot akhirnya diundangkan beberapa tahun lalu itu. Semoga saja, ibu-ibu di KPI dan ATVSI bisa menjaganya dan terus berteriak kritis.
Salam
SPY CAM FOR PAHA & DADA?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comments :
Posting Komentar