SKANDAL DANA BI (5)

BERGAYA SINTERKLAS SEJAK ERA 70-AN?

Siapa menduga, jeratan hukum kepada para mantan pejabat Bank Indonesia - Burhanudin Abdullah, Oey Hoey Tiong dan Rusli Simanjuntak- dan mantan wakil rakyat –Anthony Zeidra Abidin dan Hamka Yandhu- kian melebar dan menyeret sejumlah pihak lainnya. Mulai dari mantan Deputi Gubernur BI Aulia Pohan, Ketua BPK Anwar Nasution, oknum aparat penegak hukum, puluhan oknum wakil rakyat, hingga skandal sogokan Deputi Senior Gubernur BI Miranda Swaray Goeltom. Begitukah tebar uang ala pejabat bank sentral?

Suatu kali di hari Jumat, 4 Juli 2008, Agus Condro Prayitno, anggota DPR-RI dari Fraksi PDIP, untuk kali pertama diperiksa KPK sebagai saksi kasus aliran dana BI yang melibatkan dua mantan anggota komisi IX DPR-RI, Anthony Zeidra Abidin dan Hamka Yandhu.


“Apakah saudara pernah menerima uang dari saudara Hamka Yandhu terkait penyelesaian BLBI dan Amandemen UU BI?” tanya penyidik KPK seperti ditirukan Agus. “Saya jawab tidak pernah, tapi kalau duit yang lain dari Hamka Yandhu pernah,” jawab Agus kepada penyidik.

Agus mengaku tidak pernah lantaran dia beralasan duit yang diterimanya dari Hamka Yandhu tidak tahu itu duit apa. Agus pun mulai mengisahkan kronologi duit yang ia terima dari koleganya, Hamka Yandhu, yang saat itu sesama anggota komisi IX DPR-RI periode 1999-2004.

“Lha, saya kan nggak tahu itu duit apa. Ceritanya, waktu itu saya habis makan di kafe deket Nusantara I, Gedung DPR. Ketemu seorang teman kemudian dikasih tahu. Gus, ada rejeki buat kamu,” kisah Agus. Lantas? “Kamu kan anggota Baru di Komisi IX. Ini duit selamat datang , kamu telepon aja Hamka Yandhu,” Agus menirukan temannya itu.

Mendengar kabar rejeki, Agus pun telepon Hamka Yandhu. “Pak Agus ke kantor saja aja,” jawab Hamka Yandhu saat ditelepon Agus. Sang wakil rakyat yang tergolong orang lama di tubuh fraksi PDIP itu lalu naik menuju ruangan Hamka Yandhu. Dia mendapati Hamka tidak ada di rungan, yang ada cuma sekretarisnya.

Dia lalu bertanya kepada si sekretaris Hamka. “Apa ada titipan buat saya? Nama saya Agus Condro Prayitno,” kata Agus kepada Sekretaris Hamka. “Oh, ada, Pak,” jawab sekretaris itu. Sekretaris itu pun memberi amplop kepada Agus Condro. “Saya buka 5 lembar travellers cheque Lippo Bank, per lembar nilainya RP 5 juta, kali kan lima kan jadi Rp 25 juta,” tutur Agus. “Saya kemudian tukar cheque itu di Lippo Bank depan Kantor,” Agus melanjutkan kisahnya.

Nah, karena Agus mengaku tidak tahu asal muasal duit itu, ia pun bilang ke penyidik KPK kalau dirinya tidak pernah terima uang dari Hamka Yandhu terkait penyelesaian BLBI dan Amandemen UU BI. Dengan kepolosannya, Agus Condro lantas menjawab penyidik KPK. “Kalau terima uang lain yang tidak terkait dengan itu, saya pernah. Bahkan, jumlahnya jauh lebih besar,” aku Agus kepada penyidik KPK.

Mendengar pengakuan seperti itu, penyidik KPK langsung mengoreknya dari Agus Condro. “Saya pernah dapet duit Rp 500 juta. Duit itu saya terima kira-kira dua sampai tiga minggu setelah saya pulang dari India dan setelah pemilihan Deputi Senior Gubernur BI Miranda Goeltom. Duit itu saya terima di ruangan Emir Moeis (anggota FPDIP yang juga Ketua Panitia Anggaran DPR-red), yang ngasih Dudhie Makmun Murod (anggota DPR dari FPDIP-red),” ungkap Agus Condro.

Pengakuan Agus Condro sontak menggemparkan republik ini. Kesaksian Agus tentu saja kian mencoreng kredibilitas DPR dan Bank Indonesia. Maklum saja, sebelumnya, muka para wakil rakyat dan pejabat Bank sentral yang terhormat sudah berulangkali tercoreng terkait sejumlah fakta persidangan yang muncul di sidang perkara Burhanudin Abdullah, Oey Hoey Tiong, Rusli Simanjuntak, Anthony Zeidra Abidin dan Hamka Yandhu.

Betapa tidak. Dalam sidang perkara aliran dana BI dengan terdakwa bekas Ketua Sub Komisi Keuangan Komisi IX DPR 1999-2004, Hamka Yandhu, terbongkar sejumlah anggota DPR yang turut kecipratan duit bank sentral. Dalam kesaksiaannya di persidangan, Hamka Yandhu mengaku membagikan uang ke sejumlah koleganya para wakil rakyat yang berkisar antara Rp 250 juta sampai Rp 500 juta.

Dan tidak tanggung-tanggung. Dalam sidang di pengadilan Tipikor, Senin 28 Juli 2008 itu, Hamka Yandhu menyeret dua anggota Kabinet Indonesia Bersatu pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Mereka adalah Menteri Kehutanan MS Kaban yang sebelumnya anggota komisi IX serta Menteri Perencanaan Pembangunan/Ketua Bapenas Paskah Suzeta yang sebelumnya pernah menjabat Ketua Komisi IX DPR 1999-2004. Hamka menegaskan dirinya sendiri yang menyerahkan uang kepada MS Kaban. “Pak Paskah Suzeta menerima uang Rp 1 miliar,” aku Hamka di persidangannya.

Tidak cuma itu. Hamka juga men-jlentreh-kan rincian aliran uang Rp 31,5 Miliar yang diterimanya dari pejabat BI yang dibagikannya kepada kawan-kawanya di komisi IX DPR saat itu.

“Penyerahan uang saya disuruh menyaksikan tahun 2003, di rumah Anthony Zeidra Abidin di Gandaria, uang dari pak Asnar (Asnar Anshari, bekas analis senior Biro Gubernur BI-red),” ungkap Hamka. “Uang dari mana?” tanya majelis hakim. “Tidak tahu,” jawab Hamka. “Jumlah?” tanya hakim. “Tidak tahu,” jawab Hamka. “Berapa kali?” tanya hakim lagi. “Dua kali. Di hotel satu kali dan di rumah Anthony satu kali,” jawab Hamka.

Hamka melanjutkan kesaksiannya. “Penyerahan uang tunai dari BI berlangsung 4 kali, penyerahan 2 M, kami hanya menerima 1,8 M. Penyerahan 5,5 M kami hanya menerima 4,9 M, penyerahan 10,5 M kami hanya menerima 9,450 M, penyerahan 6 M kami hanya menerima 5,4 M untuk diseminasi- sosialisasi UU BI. Diserahkan kepada anggota dewan-fraksi seluruh anggota komisi IX, terdapat potongan 10 persen,” ungkap Hamka.

”Fraksi Anda Golkar, berapa yang Anda terima?” cecar Hakim. “200 sampai 300 juta rupiah,” jawab Hamka. “Ada berapa fraksi?” tanya Hakim lagi. “Golkar, PDIP, Reformasi, PKB, TNI/POLRI, PBB, KKI, Daulat Umat. Yang menyuruh menyerahkan ke teman-teman Anthony Zeidra Abidin, yang menyerahkan uang dari BI adalah Asnar Anshari dan Rusli Simanjuntak,” beber Hamka.

”Dari partai 14 orang, termasuk Nurlif 250 juta, Baharudin Aritonang 250 juta, anthony za, yg bersangkutan mengambil sendiri, Ahmad, Hafiz Nawawi 250 jt, Abdulah Zaeni 250 jt, Hamka Yamdu 500 jt, Reza Kamarulah 250 jt, Paskah Suzeta kurang lebih 1 M,” Hamka merinci aliran dana BI ke DPR. “Berapa kali tahapan penyerahan itu?” tanya Hakim. “Empat kali,”jawab Hamka.

”Ke FPDIP?” tanya Hakim. “Dudhie (Makmun) Murod, Max Muin, perinciannya setiap angggota menerima Rp 250 juta,” aku Hamka. “Fraksi PPP?” lanjut Hakim. “Daniel Tanjung RP 500 juta,” tegas Hamka. “FKB?” kejar Hakim. “Lima orang, Amru Al Mutasim, Ali Asad, Aris Sasari Siagian dll. Jumlah masing-masing Rp 250 juta,” beber Hamka.

Dalam sidang saat itu, Majelis Hakim juga bertanya kepada Hamka ichwal kode etik anggota wakil rakyat. “Apa Anda mengetahui kode etik DPR Pasal 10 yang menerangkan melarang menerima imbalan dalam bentuk apapun?” tanya Hakim. “Baca, tapi lupa,” jawab Hamka enteng.

Saat bersaksi untuk terdakwa Burhanuddin Abdullah, Mantan Kabiro Gubernur Rusli Simanjuntak membeberkan kronologi aliran dana ke anggota wakil rakyat. Kata Rusli, terjadi lima tahap pencairan uang kepada Antony Zeidra Abidin dan Hamka Yandhu. Pertama, penyerahan uang Rp 2 M di hotel Hilton Jakarta pada 27 Juni 2003. Kedua, penyerahan Rp 5,5 M di rumah Anthony di Gandaria pada 2 Juli 2003. Ketiga, penyerahan Rp 7,5 M di Hotel Hilton yang dilanjutkan dengan penyerahan Rp 10 M di rumah Anthony pada September 2003. Dan terakhir, penyerahan Rp 6 M di rumah Anthony pada Desember 2003 (baca: KOper Hitam Hamka Yandhu).

Yang jelas, hampir semua wakil rakyat yang namanya dibeberkan Hamka Yandhu di persidangan, membantah telah menerima uang “sogokan” bank sentral tersebut. Dua anggota kabinet MS Kaban dan Paskah Suzeta juga membantah telah menerima uang BI yang dituduhkan Hamka, saat disidang oleh Presiden SBY yang didampingi Jaksa Agung Hendarman Supanjdi dan Kapolri Jendral Sutanto.

Sampai-sampai, Presiden SBY pun lebih percaya Kaban dan Paskah ketimbang pengakuan Hamka Yandhu. Buktinya, dengan dalih menunggu kepastian hukum, Presiden tidak memecat keduanya dari jajaran Kabinet Indonesia Bersatu yang dipimpinnya itu.

Padahal, dugaan keterlibatan Paskah Suzeta sangat kuat. Bukan apa-apa. Sejumlah saksi telah membeberkannya di Pengadilan Tipikor. Dan, saat menjadi Ketua Komisi IX DPR, Paskah tidak sekedar dituding telah menerima Rp 1 M uang panas BI. Pak Menteri ini juga disebut-sebut terlibat skandal tiga skenario penyelamatan anggota DPR dari jeratan uang haram bank sentral.

Setidaknya, tiga skenario penyelamatan itu terungkap dalam kesaksian mantan Kepala Biro Humas BI Rizal Anwar Djaafara dan Ketua Ikatan Pegawai BI Lucky Fatul Azis Hadibrata dalam sidang Tipikor dengan terdakwa Burhanuddin Abdullah.

”Pertama, skenario Rp31,5 miliar itu hanya sampai di Rusli, tidak sampai ke anggota DPR, sehingga Rusli yang harus kembalikan. Kedua, saran penyelesaian politis antara BPK dan BI. Ketiga, perkara ini distop, tidak dilanjutkan di pengadilan,”beber Rizal.

Paskah, menurut kesaksian Rizal, menggelar pertemuan dengan Burhanuddin, karena salah seorang anggota Komisi IX DPR, Antony Zeidra Abidin, merasa dikorbankan. Menurut Rizal,usulan Paskah itu disampaikan lewat rekannya, Hamka Yandhu, dalam pertemuan dengannya di Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan pada 2006. Kata Rizal, Paskah terlihat pada pertemuan di Hotel Dharmawangsa tahun 2006 antara sejumlah pejabat BI dan anggota DPR.

Dalam pertemuan itu, selain Rizal dan Lukman, yang saat ini menjabat Direktur Perencanaan Strategis dan Hubungan Masyarakat BI, hadir pula Hamka Yandhu.

”Hamka Yandhu mau bertemu dengan Burhanuddin Abdullah.Kebetulan Paskah ada acara di Hotel Dharmawangsa dan minta diatur pertemuan.Tapi pas datang, Paskah tidak ada, yang ada hanya Hamka Yandhu dan Bobby Suhardiman,” ungkap Rizal Djaafara.

Sebelum pertemuan ketiga itu, ada dua pertemuan, yakni di sebuah tempat yang tidak disebutkan Rizal dan di Wisma Nusantara, Jakarta Pusat. Pertemuan pertama itu dihadiri Oey Hoey Tiong, Rusli Simanjuntak dan Lukman Benyamin untuk mempertemukan Antony dengan Burhanuddin atas permintaan Bobby Suhardiman.

Pada saat itu, Bobby menceritakan bahwa Antony emosi dan minta bertemu dengan Burhanuddin. ”Bobby menyampaikan sesuai pembicaraan dengan Paskah, agar Burhanuddin menemui Antony. Pertemuan ini muncul karena Antony merasa dikorbankan lantaran hanya nama dia yang muncul ketika ada laporan BPK ke KPK. Setelah pertemuan, Antony meminta Burhanuddin untuk mencarikan jalan keluar,” tutur Rizal.

Sementara itu,pertemuan kedua terjadi di Wisma Nusantara. Saat itu Rizal diajak Lukman untuk bertemu Antony. Anggota DPR tersebut mengaku memiliki seorang adik yang tahu proses di KPK. Dia mengatakan kasus tersebut tidak dapat dihentikan. Antony akhirnya mengambil langkah. Dia akan menyanggah penyelidikan KPK dengan alasan tidak cukup bukti.

Sementara Ketua Ikatan Pegawai BI Lucky Fatul mengatakan, ada dua pertemuan di Hotel Le Meridien yang melibatkan Paskah. Pertemuan pertama, terjadi pada Agustus 2005 yang dihadiri Rusli, Lukman, Lucky, Paskah, dan Hamka.Pertemuan tersebut membahas tiga hal; pertama, temuan BPK atas uang Rp31,5 miliar untuk tugas DPR dan mempertegas kejelasan uang itu; kedua, keraguan Paskah tentang besaran uang tersebut; ketiga, membahas laporan BPK ke KPK.

”Pertemuan kedua terjadi Desember 2005.Saat itu Rusli tidak hadir. Isi pertemuannya membahas agar BI membuat laporan pertanggungjawaban kepada BPK sesuai permintaan mereka,”jelasnya.

Dalam beberapa kesempatan wawancara dengan sejumlah media, Paskah Suzeta tidak membenarkan dan tidak juga membantah semua fakta yang terungkap di persidangan. Dengan diplomatis, Paskah menyerahkan semuanya kepada proses hukum yang sedang berjalan.

Lucunya, meski banyak mantan anggota komisi IX DPR yang membantah pengakuan Hamka Yandhu, tapi diam-diam, ada anggota DPR yang sudah mengembalikan uang yang diterimanya dari Hamka Yandhu kepada KPK saat mereka diperiksa sebagai saksi. Emir Muis, wakil rakyat yang pernah menjabat sebagai Ketua Komisi Keuangan dan Perbankan DPR Periode 1999-2004 telah mengembalikan uang gratifikasi tersebut.
“Emir Muis sudah pernah kembalikan uang pada KPK Rp 250 juta pada pertengahan Juni 2008,” kata juru bicara KPK Johan Budi. “Dia mengembalikannya dalam pemeriksaan sebagai saksi,” tambah Johan.

Apapun, terbongkarnya pat gulipat skandal aliran dana BI yang bersumber dari YPPI (Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia) sebesar Rp 100 Miliar, tidak bisa tidak memang kian melesat, memerahkan telinga dan menohok banyak pihak.

Lihat saja, desakan berbagai kalangan agar KPK segera menetapkan bekas Deputi Gubernur BI Aulia Pohan sebagai tersangka kasus aliran dana BI. Tentu saja bukan karena faktor politis lantaran Aulia Pohan adalah besan Presiden SBY. Seperti diketahui, Anisa Lasarati Pohan dinikahi Lettu Infanteri Agus Bambang Yudhoyono, putra sulung Presiden SBY.

Keterlibatan Aulia Pohan dalam aliran Rp 100 M dana BI/YPPI ke para mantan pejabat BI yang terjerat perkara, wakil rakyat, oknum penegak hukum dan pihak-pihak lainya memang sangat kasat mata. Betapa tidak. Selain saat itu menjabat Deputi Gubernur BI yang turut serta memutuskan pengambilan dana Rp 100 M dari YPPI, Aulia Pohan-lah - yang menurut keputusan Rapat Dewan Gubernur BI- didapuk sebagai salah satu koordinator Panitia Pengembangan Sosial Kemasyarakatan (PSK). Sebuah kegiatan yang diduga sengaja dibikin BI sebagai kamuflase atas kegiatan aliran dana inseminasi dan bantuan hukum ke dalam kegiatan sosial kemasyarakan bank sental.

Lantas, sejauh mana keterlibatan Aulia Pohan? Begini ceritanya. Sebagai lanjutan Rapat Dewan Gubernur sebelumnya, RDG lanjutan kembali digelar pada 22 Juli 2003. Nah, dalam rapat ini hadir Gubernur BI Burhanuddin Abdullah, para Deputi Gubernur –Anwar Nasution, Aulia Pohan, R Maulana Ibrahim, Maman Sumantri, Bun Bunan Hutapea dan Aslim Tadjuddin- serta direktorat Hukum Roswita Roza, Biro Gubernur Rusli Simanjuntak dan Direktorat Pengawasan Internal Puwantari Budiman.

Dalam rapat kali ini, Dewan Gubernur memutuskan realisasi penyisihan dana sebesar RP 71,5 M (RP 100 M dikurangi jumlah yang disetujui oleh Dewan Pengawasn LPPI untuk ditarik sebesar Rp 28,5 M). Selain itu, RDG juga memutuskan dibentuk Panitia Pengembangan Sosial Kemasyarakatan (PPSK) guna melakukan penarikan, penggunaan dan penatausahaan dana tersebut.

RDG kali itu juga menetapkan pengurus PPSK yang terdiri dari Aulia Pohan dan Maman Soemantri (Koordinator), Rusli Simanjuntak (Ketua) dan Oey Hoey Tiong (wakil ketua). Nah, PSK inilah yang kemudian melakukan penarikan dana Rp 71,5 M dari LPPI untuk selanjutnya menggunakan dana tersebut sesuai persetujuan koordinator.

Pada hari itu juga, 23 Juli 2003, Rusli Simanjuntak mengajukan catatan kepada Deputi Gubernur yang ditunjuk sebagai koordinator PSK (Aulia Pohan dan Maman Soemantri) untuk menarik dana YPPI sebesar Rp 71, 5 M.

Walhasil, saat dana mulai dikucurkan inilah, ketidakberesan mulai terjadi. Alokasi anggaran tidak sesuai peruntukan sebagaimana mestinya sebagai sebuah program PSK. Sumber dana akhirnya berasal dari YPPI sebesar Rp 71,5M dan dari BI sebesar Rp 42,7 M. Pengeluaran dana YPPI tentu saja langsung disetujui, lha wong dilakukan oleh Pengurus YPPI atas persetujuan Aulia Pohan selaku anggota Dewan Penasehat YPPI yang noatebene juga anggota Dewan Gubernur.

Duit sebanyak itulah yang kemudian mengalir untuk dana bantuan hukum sebesar Rp 96,2 M, terdiri dari biaya pengacara Sudrajat Djiwandono, Iwan Prawiranata, Heru Supraptomo, Hendro Budiyanto, dan Paul Sutopo sebesar Rp 27,7 M dan para terdakwa senilai Rp 68,5 M. Masing-masing terdiri dari Sudrajat Djiwandono terima duit Rp 25 M, Iwan R Prawiranata Rp 13,5 M, serta Heru Soepraptomo, Heru Budiyanto dan Paul Sutopo, masing-masing mengantongi Rp 10 M.

Aulia Tantowi Pohan ketika menjabat Deputi Gubernur BI mengaku dana BI dialirkan ke aparat penegak hukum, DPR dan Partai Politik. Setidaknya itulah yang diungkap auditor BPK I Nyoman Wara, 9 September 2008, saat bersaksi dalam sidang di Pengadilan Tipikor untuk terdakwa Mantan Kabiro Gubernur BI Rusli Simanjuntak dan mantan Deputi Direktur Hukum BI Oey Hoey Tiong.

Menurut Wara, Aulia mengakui hal itu ketika menjalani pemeriksaan oleh auditor BPK karena diduga mengetahui tentang aliran dana BI.Saat diperiksa, Aulia mengatakan citra institusi BI dan para pejabat BI terpuruk setelah dikeluarkannya audit investigasi BPK tentang laporan keuangan BI.

“Antara lain banyaknya pejabat dan mantan pejabat BI yang mengalami masalah hukum, tekanan kepada para Dewan Gubernur BI untuk mundur, sehingga BI sangat terpuruk baik di mata dalam negara maupun dunia internasional,” kata Wara ketika membacakan hasil pemeriksaan terhadap Aulia tanggal 16 Agustus 2005. Untuk itu, BI memerlukan dana untuk membersihkan citra Bank Sentral itu. “Untuk mengatasi itu BI diperlukan dana yang cukup besar untuk melakukan pendekatan kepada aparat penegak hukum, DPR RI, parpol dan pihak-pihak lainnya,” kata Wara menirukan pengakuan Aulia.

Persoalannya, gaya sinterklas bank sentral tidak hanya terjadi saat kasus BLBI yang dianggap mencoreng citranya di mata dunia terjadi. Dalam persidangan 20 Agustus 2008, Rusli Simanjuntak bahkan mengugkap kalau penggelontoran uang ke sejumlah anggota DPR sudah biasa dilakukan BI sejak tahun 1970-an.

“Itu berlangsung sejak kira-kira tahun 1970-an,” jelas Rusli Simanjuntak. “Semuanya tanpa tanda terima,” lanjut Rusli menjawab pertanyaan hakim Hendra Yospin. “Apakah BI sudah biasa memberikan uang tanpa tanda terima?” tanya hakim lagi. Menjawab pertanyaan itu, Rusli mengaku, BI memang memperlakukan DPR berbeda dengan pihak lain. Menurutnya, BI tidak pernah minta tanda terima setiap kali mengalirkan uang ke DPR. Padahal, BI selalu minta tanda terima kalau memberi uang kepada pihak lain seperti yayasan atau panti asuhan. “Susah saya menjawabnya, Pak. Itu sudah kelaziman,” jawa Rusli. Susah, Pak, namanya juga uang bikinan sendiri.


Comments :

0 komentar to “SKANDAL DANA BI (5)”