SKANDAL DANA BI (7)

SEJAUH MANA AULIA POHAN TERLIBAT?

Mantan Deputi Gubernur BI Aulia Tantowi Pohan nampaknya kian tersudut dan sulit berkelit terkait dugaan keterlibatannya dalam skandal aliran Rp 100 M dana BI/YPPI. Selain sejumlah kesaksian di persidangan Pengadilan Tipikor yang kerapkali menyeret namanya, Aulia Pohan nyata-nyata ditunjuk selaku koordinator Panitia Pengembangan Sosial Kemasyarakatan (PPSK) yang ditugasi mengatur mekanisme pengeluaran uang BI dan YPPI sebesar Rp 100 M tersebut.

“Secara yuridis formal tidak ada keraguan dari KPK,” jelas ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar. Penjelasan Antasari terungkap dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR. Saat itu, Antasari dicecar pertanyaan anggota Dewan dari FPDIP Gayus Lumbun. Wakil Ketua Badan Kehormatan DPR itu menanyakan status Mantan Deputi Gubernur BI Aulia Tantowi Pohan yang hingga kini masih sebagai saksi dalam kasus aliran dana BI.


KPK segera menentukan nasib mantan pejabat BI yang kebetulan juga besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tersebut, terkait dengan kasus aliran dana bank sentral. "Kami masih bekerja," kata Antasari. "Sedang kami cermati, dan kami belum berhenti," lanjutnya.

Ketua KPK pun meminta media massa dan anggota DPR mencermati surat dakwaan terhadap Burhanuddin Abdullah. ”Kalau dicermati surat dakwaan BA (Burhanuddin Abdullah-red), ada kata bersama-sama.”

Surat dakwaan atas nama Burhanuddin dikeluarkan pada 16 Juni lalu. Pada bagian dakwaan primer disebutkan, "...bersama-sama pula dengan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia lainnya, yaitu Aulia Tantowi Pohan, yang juga merangkap sebagai Dewan Pengawas Yayasan Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia... melakukan perbuatan memperkaya diri atau orang lain...."

Antasari meyakinkan para anggota Komisi III bahwa apa yang tercantum dalam surat dakwaan Burhanuddin Abdullah akan digunakan sebagai pintu masuk bagi penetapan status Aulia Pohan. "Surat dakwaan itu sudah sebagai pintu masuk," katanya. Ketika ditanyai apakah itu artinya status tersangka bagi Aulia tinggal menunggu waktu saja?” kata anggota dewan. "Mudah-mudahan," jawab Antasari singkat.

Dugaan KPK tebang pilih dalam kasus aliran dana BI, belakangan memang sempat merebak ke permukaan. Maklum, Aulia Pohan yang kebetulan besan presiden, tak jua ditetapkan sebagai tersangka. Padahal, nama Aulia Pohan sudah berulangkali terungkap dalam fakta persidangan di pengadilan Tipikor.

Sebut saja dalam sidang untuk terdakwa Mantan Kabiro Gubernur BI Rusli Simanjuntak dan mantan Deputi Direktur Hukum BI Oey Hoey Tiong, 9 September 2008, Auditor BPK I Nyoman Wara membacakan hasil pemeriksaan BPK terhadap Aulia Pohan tertanggal 16 Agustus 2005.

Menurut Wara, Aulia Tantowi Pohan ketika menjabat Deputi Gubernur BI mengaku dana BI dialirkan ke aparat penegak hukum, DPR dan Partai Politik. Aulia mengakui hal itu ketika menjalani pemeriksaan oleh auditor BPK karena diduga mengetahui tentang aliran dana BI.Saat diperiksa, Aulia mengatakan citra institusi BI dan para pejabat BI terpuruk setelah dikeluarkannya audit investigasi BPK tentang laporan keuangan BI.

“Antara lain banyaknya pejabat dan mantan pejabat BI yang mengalami masalah hukum, tekanan kepada para Dewan Gubernur BI untuk mundur, sehingga BI sangat terpuruk baik di mata dalam negara maupun dunia internasional,” Wara membacakan hasil pemeriksaan terhadap Aulia.

Karenanya, BI memerlukan dana untuk membersihkan citra bank sentral itu. “Untuk mengatasi itu BI diperlukan dana yang cukup besar untuk melakukan pendekatan kepada aparat penegak hukum, DPR RI, parpol dan pihak-pihak lainnya,” kata Wara menirukan pengakuan Aulia. Namun, saat ditemui wartawan dalam acara buka puasa perayaan ulang tahun Presiden Yudhoyono di Istana, beberapa waktu lalu, Aulia membantahnya. "Tidak benar itu," jawab Aulia.
Yang jelas, sampai Juli lalu, nama Aulia sudah 114 kali disebut dalam surat dakwaan mantan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah. Agustus ini, namanya juga terus disebut sejumlah saksi.
Sejumlah saksi juga menyatakan pencairan dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) ketika itu, sepengetahuan Aulia. Kesaksian Asnar Ashari (analis senior Biro Gubernur BI), Baridjussalam Hadi (mantan Ketua Badan Pengurus YPPI), Ratnawati Priyono (mantan bendahara YPPI yang kini menjadi Ketua LPPI-nama baru YPPI), dan Luckyfatul Azis Hadibrata (Kepala Perwakilan BI di New York) kian menyudutkan Aulia.

Selaku Ketua Dewan Pengawas YPPI (kini LPPI), Aulia terbukti turut menyetujui permintaan dana untuk membiayai kegiatan BI. Langkah ini dinilai melanggar Anggaran Dasar YPPI tahun 1997.

Mantan Bendahara YPPI (kini menjabat Ketua LPPI-nama baru YPPI) Ratnawati Priyono, dalam kesaksiannya di persidangan, menyebutkan bahwa perintah Rp 13,5 M digunakan untuk kepentingan BI atas perintah Aulia selau koordinator Panitia PSK. Sedangkan menurut kesaksian pegawai BI lainnya, Rizal Anwar Djaafara, diakui ada disposisi dari Aulia pada 8 September 2004 untuk memberikan Rp 500 juta kepada anggota DPR.

Kesaksian lain juga muncul dari terdakwa Oey Hoey Tiong. Menurutnya, Aulia memanggil Oey dan Rusli Simanjuntak pada 3 JUNI 2003 untuk memberi arahan mekanisme pencairan dana YPPI. Sementara pengakuan terdakwa Rusli Simanjuntak, Aulia pernah memerintahkan dirinya bertemu dengan anggota komisi IX DPR, antara lain Anthony Zeidra Abidin dan Hamka Yandhu. Dan menurut kesaksian mantan Analis Seior BI Asnar Ashari, kegiatan Rusli yang berhubungan dengan DPR, selalu dilaporkan secara lisan kepada Aulia Pohan dan Maman H. Soemantri.

Bicara keterlibatan Aulia memang kasat mata. Bahkan kalau bicara keputusan kolektif Dewan Gubernur yang merancang dan membahas mekanisme dana Rp 100 M milik YPPI, semua anggota Dewan Gubernur yang turut menyetujui keputusan itu, tentunya tanpa tebang pilih harus terseret ke meja hukum. Hanya saja, keterlibatan Aulia selaku Deputi Gubernur yang didapuk jadi koordinator PPSK makin besar lantaran keterlibatan langsung dalam urusan teknis, seperti disposisi pencairan dana.

Lalu, bagaimana awal mulanya sehingga muncul skandal aliran dana ratusan milyar itu? Begini ceritanya. Pada 17 Maret 2003, tiga mantan direksi BI –Hendro Budiyanto, Heru Soepraptomo, Paul Sutopo – mengajukan surat kepada Dewan Gubernur BI. Isinya, ketiganya mengajukan permohonan dana operasional dan konsultasi hukum. Pada intinya, mereka meminta bantuan penggantian dana selama yang bersangkutan menjalani proses penyelidikan dan penyidikan dan pemeriksaan sebagai terdakwa kasus BLBI.

Gayung pun bersambut. Surat mereka ditanggapi Dewan Gubernur yang pada 20 Maret 2003, langsung menggelar rapat dewan gubernur (RDG). Rapat yang dihadiri Gubernur BI Syahril Sabirin dan para deputi Gubernur BI (Anwar Nasution, Miranda S. Goeltom, Aulia Pohan, Bun Bunan Hutapea, Maman Sumantri) serta Direktorat Hukum Oey Hoey Tiong memutuskan memberikan bantuan dana sebesar Rp 5 milyar kepada masing-masing mantan direksi BI tadi. Dana bantuan senilai total Rp 15 M itu dibebankan pada anggaran direktorat hukum BI.

Dus, sumbang menyumbang bantuan hukum ala bank sentral ini pun berlanjut. RDG kembali digelar di era Burhanuddin Abdullah. Persisnya, 3 Juni 2003, RGD yang dihadiri Burhanuddin Abdullah, Aulia Pohan, Bun Bunan Hutapea, Aslim Tadjuddin dan Direktorat Hukum Roswita Roza, memutuskan agar Dewan Pengawas LPPI diminta untuk menyediakan dana sebesar Rp 100 M, sesuai yang diperlukan BI. Penyediaan dana ini, seperti tertera dalam Keputusan RDG, terkait adanya kegiatan yang sifatnya insidentil dan mendesak di BI. Rapat juga menugaskan Deputi Gubernur BI Aulia Pohan dan Bun Bunan J Hutapea untuk segera membicarakan pelaksanaannya dengan pengurus yayasan LPPI.

RDG lanjutan kembali digelar pada 22 Juli 2003. Nah, dalam rapat ini hadir Gubernur BI Burhanuddin Abdullah, para Deputi Gubernur –Anwar Nasution, Aulia Pohan, R Maulana Ibrahim, Maman Sumantri, Bun Bunan Hutapea dan Aslim Tadjuddin- serta direktorat Hukum Roswita Roza, Biro Gubernur Rusli Simanjuntak dan Direktorat Pengawasan Internal Puwantari Budiman.

RDG kali itu digelar menyusul catatan tertanggal 27 Juni 2003, yang diajukan Rusli Simanjuntak dan Oey Hoey Tiong kepada Deputi Gubernur Aluia Pohan dan Maman Sumantri. Isinya, mengajukan penarikan/penggunaan dana untuk bantuan diseminasi intensif kepada stakeholders tertentu mengenai BLBI senilai Rp 7,5 M, dalam dua tahap. Masing-masing Rp 2 M dan Rp 5,5 M dari alokasi Rp 50 M pertama yang disetujui sebagai pengucuran tahap pertama.

Dalam RDG 22 Juli 2003 itulah, Dewan Gubernur memutuskan realisasi penyisihan dana sebesar RP 71,5 M (RP 100 M dikurangi jumlah yang disetujui oleh Dewan Pengawasn LPPI untuk ditarik sebesar Rp 28,5 M). Selain itu, RDG juga memutuskan dibentuk Panitia Pengembangan Sosial Kemasyarakatan (PSK) guna melakukan penarikan, penggunaan dan penatausahaan dana tersebut.

RDG kali itu juga menetapkan pengusur PKPSK yang terdiri dari Aulia Pohan dan Maman Soemantri (Koordinator), Rusli Simanjuntak (Ketua) dan Oey Hoey Tiong (wakil ketua). Nah, PSK inilah yang kemudian melakukan penarikan dana Rp 71,5 M dari LPPI untuk selanjutnya menggunakan dana tersebut sesuai persetujuan koordinator.

Pada hari itu juga, 23 Juli 2003, Rusli Simanjuntak mengajukan catatan kepada Deputi Gubernur yang ditunjuk sebagai koordinator PSK (Aulia Pohan dan Maman Soemantri) untuk menarik dana YPPI sebesar Rp 71, 5 M.

Nah, selanjutnya mari kita lihat bagaimana mekanisme pengajuan hingga pencairan dana YPPI untuk para wakil rakyat yang terhormat itu. Dalam dokumen Lembar Disposisi Pejabat yang dikirim Kepala Biro Gubernur Rizal A. Djaafara kepada Deputi Gubernur BI Aulia Pohan, tertanggal 8 September 2004.

Dalam suratnya, Rizal menulis: ”..Setelah berkoordinasi dengan para mantan anggota Panja RUU LPS yang akan menjabat kembali, telah disepakati untuk mengajukan RUU Likuidasi Bank sebagi RUU yang berdiri sendiri......”

Begini lanjutan surat Rizal kepada Aulia Pohan: ”Apabila Bapak berkenan, sebagai upaya sosialisasi pentingnya pembahasan RUU Likuidasi Bank pada masa persidangan selanjutnya dan dalam rangka upaya diseminasi pembinaan hubungan baik, kami mengusulkan penyampaian dana bantuan. Adapun besar dana bantuan, untuk awalnya kami usulkan sebesar Rp 500 juta..... Apabila Bapak berkenan, kami akan menindaklanjuti dengan Dhk ”

Apa yang terjadi? Deputi Gubernur Aulia Pohan selaku kordinator PPSK langsung menyetujuinya. Buktinya, BI mengucurkan dana Rp 500 juta ke parlemen untuk sosialisasi dan diseminasi pembinaan hubungan baik.

Kepala Biro Gubernur Rizal Djaafara kembali melayangkan surat ke Deputi Gubernur Bun Bunan Hutapea tertanggal 21 September 2004. Kali ini, Rizal meminta persetujuan Bun Bunan Hutape terkait bantuan dana Rp 540 juta untuk pertemuan informal yang melibatkan perwakilan fraksi-fraksi di komisi IX DPR. Acara yang menurut surat Rizal akan berlangsung di Hotel Mulia tanggal 21 September 2004 itu, dilangsungkan demi kepentingan persetujuan anggota dewan atas anggaran BI.

Surat Lembar Disposisi Pejabat juga sempat dilayangkan Rizal Djaafara kepada Deputi Gubernur Aulia Pohan tertanggal 21 September 2004. Rizal meminta persetujuan Aulia untuk dana bantuan sebesar Rp 650 juta untuk keperluan keberhasilan lobby dengan anggota Dewan terkait adanya penundaan pembahasan amandemen UU Perbankan.

Tidak cuma itu. Rizal Djaafara kembali melayangkan surat meminta persetujuan Deputi Gubernur Aslim Tadjuddin. Kali ini, jumlah dana yang diminta lumayan fantastis: Rp 2,65 M. Busyet deh. Buat apa lagi dana sebesar itu?

Dalam surat Lembar Disposisi Pejabat yang dikiriman Rizal tertulis:”...Menindaklanjuti telah usainya pembahasan RUU SPPN dan RUU Kepailitan dan telah disahkannya 2 RUU dimaksud pada Rapat Paripurna DPR-RI, dengan ini kami sampaikan..... 1. Seluruh high call pada 2 RUU dimaksud telah berhasil diakomodasi. Pada RUU SPPN telah diputuskan untuk menghapus klausa ”arah kebijakan moneter” sedangkan pada RUU Kepailitan telah diakomodasi kepentingan BI khususnya mengenai proses kepailitan suatu bank.”.

Rizal melanjutkan suratnya: ”..Diakomodasinya seluruh high call BI selain adanya dukungan bahan dan data, juga hasil lobby dengan seluruh anggota Panja yang terlibat.” Masih menurut surat memo Rizal kapada Aslim,”...mengingat sebagian besar anggota Panja akan berakhir masa jabatannya .......sebagai wujud dukungan serta membina hubungan baik, kami mengusulkan kiranya dapat disampaikan bantuan sebesar Rp. 2.650.000.000,00.”

Jadi, begitu mudahnya uang milyaran rupiah mengucur dari “gudang duit” bernama bank sentral itu. Bayangkan saja, dalam tempo kurang dari satu bulan, persisnya 8-21 September 2004, BI dengan gampang mengeluarkan Rp 4,53 miliar. Dan kurang ajarnya lagi, uang sebesar itu digunakan hanya untuk menjaga hubungan baik dengan para wakil rakyat. Rinciannya: Rp 500 juta (8/09/04), Rp 540 juta (21/09/04), Rp 2,65 M (29/09/04), Rp 75 juta (28/09/04), Rp 650 juta (21/09/04) dan Rp 120 juta (21/09/04). Alasan resminya, dana itu untuk kepentingan pembahasan beberapa RUU dan pembahasan anggaran BI bersama DPR.

Selidik punya selidik, dana itu dimaksudkan untuk memasukan pasal-pasal krusial yang dianggap BI sebagai high cali seperti dalam RUU Lembaga Penjamin Simpanan, persetujuan anggaran BI kepada perwakilan fraksi-fraksi Komisi IX DPR-RI, sebagai hadiah bagi para anggota Panja seperti Panja RUU Kepailitan yang saat itu akan berakhir masa jabatannya, biaya untuk melakukan penundaan pembahasan amandemen RUU Perbankan, serta biaya pembahasan badan supervisi.

Artinya, semua anggota Dewan Gubernur harus bertanggungjawab atas kongsi gelap antara bank sentral dengan parlemen dalam urusan duit Rp 100 miliar ini. Tidak cuma Aulia Pohan yang segera diseret KPK untuk dijadikan tersangka, melainkan semua Anggota Dewan Gubernur. Mereka adalah Miranda Swaray Goeltom, Bun Bunan Hutapea, Maman Sumantri, R. Maulana Ibrahim, Aslim Tadjuddin dan tidak terkecuali
Anwar Nasution.


Comments :

0 komentar to “SKANDAL DANA BI (7)”