Mengusut Hantu BLBI


Bicara mega skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) seakan tak ada ujung pangkalnya. Rumit dan nggak kelar-kelar urusannya. Kalau boleh meminjam istilah Jaksa Agung Hendarman Supandji, masuk ke masalah BLBI itu ibarat masuk ke ruang gelap dan banyak hantunya. Betapa tidak. Lha, wong BLBI ”sukses” menguras duit negara Rp 647,9 triliun. Mau tahu yang kembali ke negara? Cuma Rp 174,5 triliun. Lantas, ke mana Rp 473,4 triliun sisanya? Wassalam.

Lha, gimana asal-asulnya kok negara bisa buntung begitu? Ayo, kita coba ilustrasikan benang kusut mega skandal BLBI ini. Contoh gampangnya begini. Anda adalah seorang pengusaha. Saking gampangnya dan relatif kecilnya modal mendirikan bank menyusul kebijakan Paket Oktober 1988 (Pakto 88), Anda pun lalu mendirikan sebuah bank. Ndilalah, bank Anda sukses menghimpun dana dari masyarakat dan berkembang pesat hingga menjadi bank swasta nasional terbesar.



Nah, setelah uang jutaan nasabah terkumpul di bank Anda, sebagai pengusaha, Anda lalu mengajukan kredit kepada bank milik Anda sendiri. So, pasti disetujui begitu saja. Lha wong ngajuin utang ke bank milik anda sendiri.Dus, kucuran kredit dari bank Anda ke kelompok usaha Anda lainnya pun langsung mengalir deras bak kran bocor. Nilainya, jauh melebihi ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) pada kelompok usaha sendiri seperti yang ditetapkan Bank Indonesia. Anda yang menurut BMPK hanya berhak atas kredit ke kelompok usaha sendiri maksimal 10 % dari modal bank, bisa terima hingga ratusan persen.

Dari sini, kredit yang Anda terima, sudah tergolong kredit bermasalah alias non-performing loan (NPL). Jumlah kreditnya nggak tanggung-tanggung. Setelah dihitung-hitung, kredit yang Anda terima dari bank Anda sendiri menembus angka Rp 52,7 triliun.

Dus, pertengahan tahun 1997, krisis moneter yang meluas hingga menjadi krisis ekonomi pun melanda kawasan Asia, tak kecuali Indonesia. Jatuhnya nilai tukar rupiah hingga titik paling bawah tak terhindarkan. Kebijakan uang ketat oleh Bank Indonesia dengan meningkatkan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) hingga 300 persen, membuat bank Anda pun mencekik suku bunga pinjaman. Banyak para debitur (nasabah penerima kredit) bank Anda, termasuk Anda sendiri, gak bisa bayar bunganya. Apalagi bayar cicilan pokok utangnya.

Perbankan nasional rontok. Pemerintah akhirnya melikuidasi satu demi satu bank yang dianggap sudah kelewat tidak sehat. Kepanikan melanda masyarakat luas. Jutaan nasabah melakukan aksi rush atau menarik simpanan uangnya di bank – termasuk bank Anda- secara besar-besaran.

Bank milik Anda kelimpungan. Nggak ada duit buat nutupi dana ribuan nasabah yang mendadak menarik uang mereka. Bank Anda akhirnya melanggar ketentuan Giro Wajib Minimum (GWM) di Bank Indonesia sebagai bank central. Padahal, GWM adalah dana cadangan wajib sebuah bank di bank sentral. Artinya, GWM bank Anda terus menerus bersaldo debet alias negatif. Bank Anda terus mengambil dana dari BI hingga jauh melebihi nilai total asset bank untuk menutupi dana nasabah.

Di sisi lain, BI tidak melakukan sanksi stop kliring kepada bank yang dana cadangannya sudah negatif –termasuk Bank Anda- dengan mengijinkan bank terus ikut kliring, melakukan penarikan tunai, melakukan transfer dana ke cabang-cabang sampai kondisi pasar uang mereda. Keputusan BI ini tidak menyebut batas waktu dan batas maksimal bagi bank dengan GWM negatif. Padahal, BI tahu kalau banyak bank yang sudah bersaldo GWM negatif jauh melebihi nilai asetnya. Kenapa bisa begitu? Saat itu, BI bilang, stop kliring kepada bank-bank bersaldo GWM negatif, dikhawatirkan akan menimbulkan efek domino. Sebuah teori yang konon kabarnya belum pernah teruji kebenarannya.

Entah kongkalikong atau apa, yang jelas, kebijakan tidak tegas BI itu pun bocor ke kuping para bankir nakal. Otak nakal mereka pun muncul saat itu. Para bankir nakal –termasuk Anda- dengan sengaja terus menerus dan beramai-ramai melakukan penarikan dana dan membiarkan GWM bersaldo debet alias overdraft alias minus. Siapa yang bisa menjamin transaksi kliring bank-bank itu, dananya benar-benar disalurkan untuk mengganti dana rush nasabah? Prinsip BLBI jelas untuk mengganti dana masyarakat.

Jangan-jangan, dana yang mengucur dari BI itu digunakan untuk biaya investasi baru oleh pemilik bank, membuka cabang baru, biaya overhead bank umum, biaya placement baru di Pasar Uang Antar Bank (PUAB), membiayai kontrak derivatif baru buat nombokin kontrak derivatif lama yang jatuh tempo, atau mungkin untuk melunasi dana nasabah yang melanggar aturan –misalnya dana nasabah atas nama Anda sendiri yang notabene pemilik bank itu. Tahu ah, gelap. Tapi, itulah nyatanya temuan audit BPK tentang penyimpangan penyaluran BLBI pada tahun 2006.

Di sini, Anda dan bankir nakal lainnya, diduga sedang melakukan akal-akalan –yang bisa jadi lantaran main mata bersama oknum bank sentral dengan tameng aturan perbankan yang ada- dimana bank berhak meminta bantuan BI sebagai lender of the last resort.

Adalah kewajiban BI untuk memberikan bantuan kepada bank dalam situasi darurat. Dan dana talangan yang dikucurkan BI inilah yang disebut Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau BLBI. Artinya, di saat kebijakan tidak ada stop kliring tersebut, BLBI sudah mengucur ke bank Anda. Kebijakan dana talangan itu pun diperkuat dengan adanya program penjaminan terhadap dana pihak ketiga yang dikeluarkan pemerintah, awal tahun 1998. Sebelum akhirnya, dibentuklah Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk recovery atau pengembalian dana BLBI dari para obligor ke kas negara.

Singkat cerita, perbankan nasional kian rontok. Satu per satu pemerintah menetapkan puluhan bank dalam status Bank Beku Operasi (BBO), Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU) dan Bank Take Over (BTO). Ratusan bank berada di bawah pengawaan BPPN mengikuti program penjaminan dan rekapitalisasi.

Anda beruntung karena bank anda tidak ditutup. Bank anda hanya berstatus Bank Take Over (BTO) alias bank yang di ambil alih sebagian kepemilikan sahamnya oleh pemerintah. Anda hanya diwajibkan untuk mengembalikan dana talangan atas kredit bermasalah yang anda terima dari bank anda senilai Rp 52,7 triliun tadi.

Singkat kata, Anda menyerahkan aset jaminan itu ke perusahaan induk yang notabene milik anda sendiri dengan embel-embel di bawah kontrol BPPN. Sungguh tidak mustahil, bila aset yang notabene anda jaminkan ke negara itu, anda jaminkan lagi ke lembaga keuangan lain untuk mendapatkan fresh money alias kredit baru. Beban kreditnya? Ya diserahkan kepada pembeli aset Anda kelak. Toh, anda dengan gampang bisa bilang: penjualan aset adalah urusan BPPN, bukan urusan Anda lagi. Enak bukan?

Nah, kalau mau tahu, contoh yang Anda alami itulah yang sebenarnya terjadi dengan skandal dana BLBI di Grup Salim.

Pinjaman Grup Salim kepada BCA plus pinjaman Grup Salim kepada BCA eks Bank RSI (Risjad Salim Internasional) telah dialihkan BCA kepada BPPN lewat Transfer of Contract Agreement (TCA) berdasarkan Master Seattlement Aquicition Agreement (MSAA), senilai Rp 52,7 triliun, pada 21 September 1998. Sejak itu pula, pemilik Grup Salim yang terdiri dari Om Liem alias Soedono Salim, Anthony Salim dan Andree Halim mengikuti program Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS). Sebelumnya, per 21 Agustus 1998, pemerintah mengambil alih kepemilikan saham BCA dengan status sebagai Bank Take Over (BTO).

MSAA menetapkan penyelesaian kewajiban Grup Salim kepada BPPN senilai Rp 52,7 triliun tadi dengan pembayarakan tunai Rp 100 milyar, penyerahan sejumlah aset (payment in kind) senilai Rp 52, 626 triliun terdiri dari saham, exchangable bond, convertible bonds, dan piutang Grup Salim pada 57 perusahaan (intercompany).

Perhitungan jumlah kewajiban Grup Salim kepada BPPN senilai RP 52,7 triliun, lucunya, didasarkan atas data yang disajikan dan disetujui oleh Tim Kuasa Direksi BCA tanpa proses financial due diligence. Ujung-ujungnya, berdasarkan laporan pelanggaran BMPK yang disampaikan BCA kepada BI pada bulan mei 1999, menurut audit BPK tahun 1999, belakangan diketahui adanya affiliated loans sebesar Rp 3,635 triliun yang belum diperhitungkan sebagai kewajiban Grup Salim kepada BPPN. Ini terjadi, menurut BPK, lantaran BPPN tidak melakukan pengecekan dengan teliti atas pinjaman terafiliasi shareholders pada BCA dan tidak melakukan koordinasi dengan BI dalam penetapan jumlah affiliated loans shareholders BCA. Yang jelas, baru di awal penghitungan utang BLBI Grup Salim, negara nyata-nyata telah dirugikan sebesar Rp 3,64 triliun rupiah.

Sudah begitu, penyusutan atas nilai aset jaminan eks Grup Salim pun terjadi. Pada 31 Desember 1999, konsultan independen bernama Pricewaterhouse Coopers (PWC) yang ditunjuk PT Holdiko Perkasa (holding company yang mengelola aset eks Grup Salim), menilai ulang aset eks Grup Salim. Hasilnya, aset yang katanya senilai total Rp 52,7 triliun, nyatanya menyusut tinggal Rp 29,5 triliun.

Apapun memang bisa terjadi. Grup Salim adalah obligor yang mengelola aset jaminannya sendiri. Bayangkan, kepemilikan saham PT HP sebagai holding company, nyatanya, tetap atas nama shareholders (Grup Salim) juga. Coba bayangkan. PT HP memang bentukan BPPN. Tapi, BPPN hanya bertugas mengontrol operasionalnya saja.

Mari kita lihat carut marut model pengelolaan aset jaminan eks shareholders ini. Sesuai kesepakatan, kepemilikan saham PT HP awalnya terdiri dari 75% milik BPPN dan 25% saham milik Grup Salim. Namun kemudian, pada 4 Nopember 1998, kesepakatan itu diubah menjadi 100% saham PT HP adalah milik Grup Salim. Mau tahu kantor pusat PT HP yang notabene mengelola aset eks Salim yang sudah dijaminkan kepada negara? Ya di markas besar Grup Salim. Persisnya, Wisma Indocement 12th floor, Jalan Jendral Sudirman Jakarta. Lho, itu kan kantor pusat kerajaan bisnis Grup Salim?

Jadi, jangan heran bila transfer asset dari Grup Salim ke Holdiko –meski telah dilakukan secara notarial (deed of transfer), namun secara fisik saham atau bukti kepemilikan saham dan/ atau sertifikat tanah tidak dipegang oleh holding company, apalagi dipegang BPPN.

Bahasa terangnya, kepemilikan asset yang ditransfer ketiga konglomerat –Soedono Salim, Anthony Salim dan Andre Halim- kepada PT Holdiko –yang seluruh modal sahamnya secara tidak langsung adalah mereka sendiri –lewat perantara dua perusahaan yang bertindak selaku pemegang saham PT Holdiko. Yakni, PT Gemahripah Pertiwi dan PT Cakrasubur Nirmala.

Pada tahun 2000 lalu, Menko Ekuin Kwik Kian Gie sempat meminta dua ahli hukum masing-masing Fred Tumbuan dan Kartini Muljadi untuk mengkaji aspek hukum terhadap kemungkinan revisi terhadap MSAA.

Fred Tumbuan saat itu menjelaskan, Soedono Salim, Anthony Salim dan Andre Halim, secara tidak langsung adalah pemilik saham PT Holdiko. Jadi, penyerahan kepemilikan aset jaminan kepada PT Holdiko adalah suatu penyerahan kepemilikan aset oleh debitor kepada dirinya sendiri.

Di samping itu, lanjut Fred, karena kepemilikan saham PT Holdiko dalam non controlled acquisition companies bukan merupakan kepemilikan saham mayoritas, BPPN tidak mungkin dapat mengendalikan dan mempengaruhi jalannya perusahaan-perusahaan tersebut. Apalagi, mempertahankan dan meningkatkan nilai aset. Jika kemudian terjadi penurunan nilai asset, sungguh tidak masuk akal (onredelijk) dan sangat tidak adil (onbillijk) bila resiko pengurangan nilai harus ditanggung BPPN. Sementara ketiga konglomerat keluarga Salim itu tidak mempunyai tanggung jawab apapun.

Namun, itulah yang nyata-nyata diatur dalam MSAA antara Grup Salim dan BPPN. Dalam perjanjian MSAA tersebut, disebutkan adalah tugas BPPN memperoleh pelunasan utang BMPK Grup Salim melalui penjulan aset PT Holdiko. Hal ini disertai ketentuan, jika hasil penjualan aset melebihi utang, kelebihan itu menjadi hak PT Holdiko alias shareholders. Sami mawon kembali ke tangan Grup Salim.

Lantas, bagaimana kalau hasil lego aset ternyata lebih kecil dari nilai utangnya? Sialnya, kalau kurang, ya resiko BPPN nombokin alias menjadi beban negara. Artinya, harus ditanggung oleh seluruh rakyat Indonesia. Busyet deh!

Tidak heran, bila BPPN -lewat PT Holdiko Perkasa- akhirnya hanya mampu menghasilkan uang sebesar Rp 19,38 triliun dari penjualan semua aset jaminan eks Grup Salim. Jadi, berapa total kerugian negara untuk menyelamatkan bank milik seorang konglomerat kakap bernama Om Liem? Ah, gak banyak sih. Cuma Rp 30 triliun lebih sedikit.

Kisruh BLBI Grup Salim kian menjadi-jadi. Tengok saja. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam auditnya tahun 2000, menemukan sejumlah penyimpangan penggunaan dana BLBI oleh bank-bank penerima. Penyimpangan terbesar kedua, ungkap laporan audit tersebut, terjadi di tubuh BCA senilai Rp 15,82 triliun dari Rp 52,7 triliun BLBI yang diterimanya.

Menurut temuan BPK, dana BLBI banyak yang digunakan diantaranya untuk melunasi modal pinjaman, untuk transaksi surat berharga, membiayai placement baru Pasar Uang Antar Bank (PUAB), membiayai ekspansi kredit, dan sebagainya.

Sudah cukup kerugian negara? Masih ada lagi, cing! Negara masih berpotensi merugi (potensial loss) sebesar Rp 79,05 trilyun gara-gara ngurusin Grup Salim. Total tagihan convertible right issue (CRI/ pengeluaran saham yang bisa dikonversi dengan utang) PT Holdiko Perkasa kepada BPPN hingga awal 2002, tercatat sebesar Rp 88,35 trilyun (utang pokok Rp 52,7 triliun plus bunga per 2002).

Menurut laporan yang sempat beredar di tahun 2002 lalu, total utang pokok PT Holdiko Perkasa Rp 88,35 trilyun berasal dari sisa pokok utang CRI Holdiko ke BPPN sebesar Rp 43,80, trilyun, ditambah dengan biaya bunga yang belum dibayarkan (acrual) sebesar Rp 44,55 trilyun.

Setidaknya, itulah yang terungkap dalam surat No.1463/ Memo/AMI/BPPN/1102 perihal Ringkasan Hasil Pengawasan dan Review atas Laporan Keuangan PT Holdiko Perkasa per 31 Juli 2002 lalu. Laporan tertanggal 13 November 2002 itu, dikirimkan Kepala Divisi Aset Manajemen Investasi (AMI) Administrasi Eddy F Sinaga kepada Deputi Kepala BPPN bidang AMI Taufik Mappaenre Maroef, Kepala Divisi (Kadiv) Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) I Ary Zulfikar, yang ditembuskan kepada Kapala Divisi Risk Manajemen BPPN Wandy W Ryadi. Ringkasan hasil laporan itu disiapkan Grup Dukungan Pengawasan & Administrasi Divisi AMI-Admin, yaitu Ariesyarti Setyadewi, Florus Daeli (Team Leader) dan Fetty Kwartati (Group Head).

Andai asumsi tahun 2002 itu kita kurangi dengan hasil akhir penjualan aset eks Salim oleh Holdiko yang cuma menghasilkan Rp 19, 38 triliun, maka kerugian negara hingga sisa pokok utang plus bunga tahun 2002, sedikitnya mencapai Rp 68,97 triliun (Rp 88,35 T – Rp 19,38 T).

Mau tahu cerita akhirnya? Happy ending, bung! Lho, kok bisa? Lihat saja. Pemerintah mengeluarkan Inpres No. 8 tahun 2002 tentang Release and Discharge yang memberi jaminan kepastian hukum kepada debitur yang telah menyelesaikan kewajibannya.

Sebagai implementasinya, pemerintah memberikan Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada sejumlah konglomerat yang dianggap sudah selesai menjalankan kewajibannya mengembalikan dana BLBI. Dan, Grup Salim adalah salah satunya. So, BPPN menerbitkan SKL kepada Grup Salim No SKL-017/PKPS-BPPN/0304 tanggal 11 Maret 2004.

Menurut Pakar Hukum Frans Hendra Winarta, SKL seharusnya diberikan setelah aset yang diserahkan itu benar-benar senilai dengan utang yang diberikan. Selain itu, mestinya bayar uang bukan bayar aset. Itu jika mau patuh dengan hukum perbankan. “Sejak dulu saya sudah sampaikan bahwa, terhadap para obligor yang tidak patuh harus ditinjau kembali MSAA nya. Kalau tidak, apa artinya penegakkan hukum, apa artinya konsistensi?” Frans bertanya-tanya.

Grup Salim lolos dari jeratan hukum? Audit BPK sejak tahun 2000 lalu dirampungkan tahun 2006, papar Frans, sangat jelas menyatakan bahwa beberapa obligor yang telah menyerahkan aset, setelah dinilai asetnya hanya sepertiga nilainya dari utang yang mereka dapat. Ini perdatanya. Sementara pidananya, “ya BMPK atau penggelapan aset tadi,” tandas Frans. Jaksa Agung, lanjutnya, sengaja mengurai kasus ini dari pelanggaran MSAA, dalam arti tidak mengembalikan atau menyembunyikan aset. “Itu Pidana!” tegas Frans.

Kini, publik menanti keseriusan Kejaksaan Agung yang bertekad mengungkap kembali skandal BLBI. “Target kita tiga bulan sudah ada hasil dari penyelidikan ini, apakah merah, kuning atau bagaimana,” jelas Jampidsus Kemas Yahya Rahman.

Ah, sudahlah. Begini saja. Andai contoh di awal tadi benar-benar terjadi pada Anda, masih bisakah Anda tidur nyenyak hanya lantaran sudah mengantongi Surat Lunas? Masih bisakah Anda bernafas lega lalu melarikan dana investasi ke luar negeri dan melebarkan sayap bisnis di negeri seberang? Nyatanya, bisa!

Comments :

0 komentar to “Mengusut Hantu BLBI”