Sepakat di luar Master Agreement


Dalam rangka penyelesaian pinjaman affiliated loans Soedono Salim, Anthony Salim dan Andree Halim (sebagai shareholders sekaligus debitor terbesar BCA) dan pihak terafiliasi shareholders di BCA, BPPN dan Grup Salim telah menandatangani Master Settlement Aquicisition Agreement (MSAA) pada 21 September 1998.

Untuk menutupi sejumlah ketidakpatuhan terhadap isi MSAA, kedua belah pihak telah sepakat menyelesaikannya dengan cara melakukan perubahan perjanjian. Terbukti, MSAA antara Grup Salim dan BPPN telah ditambah dan diamandemen masing-masing dengan Supplement Agreement to MSAA tertanggal 14 Nopember 1998, The Amandement to MSAA tanggal 5 November 1998, Clarification Letter Agreement tanggal 10 Desember 1998 dan The Amandement to MSAA tanggal 5 Februari 1999.



MSAA dengan segala perubahannya itulah yang kemudian disebut sebagai Master Agreement antara Grup Salim dan BPPN terkait pengucuran dan pengembalian dana BLBI ke BCA. Secara garis besar, isi Master Agreement itu antara lain: jumlah kewajiban Grup Salim kepada pemerintah sebesar Rp 52,7 triliun per 21 September 1998 dan 26 April 1999, selain cash payment Rp 100 milyar, Grup salim juga menjaminkan kepemilikan saham-sahamnya (aquisicition share) pada 104 perusahaan dengan nilai yang telah disepakati BPPN dan Grup Salim sebesar Rp 48, 65 triliun, saham-saham Grup Salim harus diserahkan kepada Holding Company (dalam hal ini PT Holdiko Perkasa) paling lambat tanggal 18 Februari 1999, saham holding company dan saham 104 perusahaan tersebut dijaminkan kepada BPPN, holding company menerbitkan suatu pengakuan utang (promissory note) senilai Rp 47, 75 triliun kepada BPPN, serta Grup Salim akan menyerahkan cadangan aset lainnya (holdback asset) senilai Rp 484,78 milyar kepada BPPN dan harus ditempatkan dalam suatu “escrow” atau dijaminkan ke BPPN selambat-lambatnya 29 Nobember 1998.

Nah, mari kita perhatikan bagaiamana jalannya Master Agreement antara Grup Salim dan BPPN. Sampai batas waktu tanggal 18 Februri 1999, Grup Salim nyatanya belum menyerahkan seluruh saham-sahamnya di 104 perusahaan kepada holding company. Atas usulan Grup Salim, BPPN memperpanjang batas waktu hingga 30 Juni 1999. Sampai batas waktu itu, grup Salim hanya dapat menyerahkan sebagian asetnya senilai Rp 40,56 triliun. Sehingga terjadi kata sepakat bahwa sisa kewajiban Grup Salim senilai Rp, 12,16 triliun, kemudian diperpanjang lagi hingga 30 Juli 1999.

Apa yang terjadi dari 21 September 1998 hingga batas toleransi paling akhir 30 Juli 1999? Holdback aset senilai Rp 484,78 milyar –sampai 31 Juli 1999- belum ditempatkan dalam “escrow” atau diserahkan ke BPPN, Grup Salim terlambat menyampaikan Disclosure dari batas waktu 29 November 1998. Selain itu, Grup Salim dan BPPN sepakat merubah tanggal penyerahan 104 aset dari tanggal 19 Februari 1990 menjadi beberapa tanggal penyerahan, masing-masing 19 Maret 1999, 19 April 1999, 11 Juni 1999, dan 29 Juni 1999.

Salim dan BPPN juga sepakat bahwa intercompany indebtedness (pinjaman yang diberikan oleh shareholders kepada perusahaan afiliasinya) yang diterbitkan dalam bentuk convertible bonds (CB) akan ditransfer ke holding company (PT Holdiko), sedangkan yang tidak dalam bentuk CB tidak akan ditransfer ke Holdiko dan terus berstatus “outstanding”. Salim dan BPPN sepakat pula bahwa pada setiap tanggal transfer, Grup Salim akan menstransfer: saham-saham perusahaan yang dijaminkan ke BPPN dengan exchangeable bonds (EB), CB, pinjaman non CB ke Holdiko. Selain itu, promissory note (PN) ke shareholders yang diterbitkan ke PT Holdiko sebesar nilai aquisicition share, CB, dan intercompany indebtedness. Dan pada saat closing, sharholders akan meneribkan PN kepada BPPN. Selanjutnya, Holdiko akan menerbitkan CRI kepada BPPN sehingga BPPN mempunyai hak melakukan swap dari PN tersebut ke saham Holdiko.

Salim dan BPPN juga sepakat bahwa aquisicition share yang akan ditransfer ke Holdiko akan dibagi ke dalam beberapa subholding company dan subholding company tersebut masih memegang kepemilikan 0,01% dari seluruh saham perusahaan-perusahaan yang masih beroperasi yang dikelola subholding company tersebut.

Tak cuma itu. BPPN juga akan melepaskan tuntutan atas pelanggaran BMPK Salim meskipun belum dapat menyerahkan seluruh aquisicition share kepada Holdiko saat final closing. Dan atas kekurangan nilai aset yang belum diserahkan kepada BPPN sampai batas paling akhir yang ditentukan, BPPN hanya meminta personal guarantee kepada Grup Salim senilai kekurangan aset yang belum diserahkan tersebut.

Yang jelas, semua penyimpangan itulah yang kemudian diformalkan dengan melaksanakan Supplement atas MSAA tanggal 30 Juni 1999. Dengan segala toleransi yang disepakati itulah kemudian yang dinilai banyak pihak memberi potensi kecurangan dan penyimpangan yang diduga sangat mungkin dilakukan Grup Salim atas aset-aset yang notabene dijaminkan kepada negara.

Adalah masuk akal bila kemudian aset-aset jaminan tersebut masih bisa dijaminkan oleh Grup Salim kepada pihak ketiga. Contoh kasus adalah aset jaminan PT Sugar Grup Company berikut anak perusahaannya–yang notabene aset jaminan BPPN- yang dijaminkan oleh Grup Salim kepada pihak Marubeni Corporation. Terbukti, adanya Akta Pemberian Hak Tanggungan atas utang Salim kepada Marubeni dengan jaminan aset Sugar Group pada 27 Oktober 1999 dan 29 Maret 2000. Selain itu, Salim mengagunkan Sugar Group (fiducia) kepada Marubeni pada tanggal 6 dan 12 Februari 2001.

Belum lagi soal merosotnya nilai aset. BPPN sebenarnya tak perlu menunggu hasil audit nilai aset yang dilakukan Pricewaterhouse coopers (PWC) yang ditunjuk Holdiko pada 31 Desember 1999.

Betapa tidak. Dari 104 perusahaan yang diserahkan Grup Salim yang dijaminkan, awalnya BPPN hanya melakukan due duligence terhadap tiga perusahaan saja. Masing-masing Masquito Coil Group (MCG) yang dijaminkan senilai Rp 407,5 milyar, PT Ultramos Jaya (UJ) senilai Rp 81,7 milyar dan PT Menara Kaloka (MK) senilai Rp 802,8 milyar. Dari hasil due dilignece ketiga perusahaan tersebut, sejak awal sudah tidak sesuai dengan nilai yang dijaminkan. Untuk MCG, BPPN menemukan nilai Rp 319,2 milyar (selisih Rp 88,3 milyar), PT MK hanya Rp 436,6 milyar (selisih Rp 366,2 milyar). Bahkan untuk PT UJ, BPPN tidak bisa melakukan due diligence karena keterbatasan data keuangan lantaran saham Salim di PT UJ adalah minoritas.

Meski begitu, toh MSAA jalan terus dengan 104 perusahaan yang katanya senilai sama dengan utang Salim kepada negara. Padahal, negara jelas-jelas buntung sedikitnya RP 30 triliun gara-gara keluarga taipan bernama Salim. Jadi, mau mulai dari mana pak Jaksa?

Comments :

0 komentar to “Sepakat di luar Master Agreement”