Pelayanan Publik Berkualitas, Mungkinkah?

Salah satu konsep dasar dalam pelayanan publik adalah kepuasan publik atau pelangggan. Pelayanan yang berkualitas setidaknya harus mengacu pada dua hal pokok. Keistimewaan pelayanan yang memberikan kepuasan terhadap publik dan kualitas pelayanan yang terbebas dari segala kekurangan pelayanan. Acuan dari kualitasn pelayanan adalah kepentingan pelanggan (customer focused quality). Makna dari customer satisfaction dalam Banishing Bureacracy adalah melakukan pembaharuan dalam organisasi pemerintah sehingga memiliki perilaku inovati dan secara terus menerus memperbaiki kinerjanya tanpa harus didorong dari luar organisasi guna memberikan kepuasan bagi konsumen/publik yang dilayani. Birokrasi pemerintah di sektor pelayanan publik harus memperjelas maksud organisasi, menerapkan konsekuensi atas kinerja organisasi, menciptakan pertanggungjawaban organisasi pemerintah terhadap publik, memberdayakan organisasi dan pegawainya agar dapat berinovasi serta mengubah perilaku, perasaan, dan cara berpikir pegawai.


Kepuasan pelanggan (masyarakat) dapat dicapai apabila aparatur pemerintah yang terlibat langsung dalam pelayanan dapat mengerti dan menghayati serta berkeinginan untuk melaksanakan pelayanan secara prima. Untuk dapat melaksanakan pelayanan prima, unsur aparatur seyogiyanya mengerti dan memahami apakah kepemimpinan pelayandan siapakan pemimpin pelayan. Larry Spears dalam karyanya Greenleaf mengidentifikasi ciri khas pemimpin pelayan, yakni : mendengarkan, empati, menyembuhkan, kesadaran, Bujukan atau persuasif, konseptualisasi, kemampuan meramalkan, kemampuan melayani, komitmen terhadap pertumbuhan manusia
dan Membangun Masyarakat.

Di saat yang sama, kepemimpinan pelayan dapat bermakna terhadap masyarakat pelanggannya apabila aparatur pelayan (pemerintah) sungguh-sungguh memperhatikan beberapa dimensi atau atribut perbaikan kualitas jasa termasuk kualitas pelayanan, yang selalu memperhatikan berbagai aspek seperti: ketepatan waktu pelayanan, akurasi pelayanan, kesopanan-keramahan dalam memberikan pelayanan, tanggung jawab, kelengkapan, kemudahan mendapat pelayanan, variasi model pelayanan, serta kenyamanan dalam memperoleh pelayanan.

Bicara pelayanan berkualitas, sudah saatnya birokrasi pemerintahan mengedepankan standar pelayanan prima. Birokrasi harus mulai berpandangan bahwa: the customer is always right. Iff the customer is wrong, see rule number one. Mc Kinsey mengaitkan upaya pelayanan prima dengan model yang dikenal dengan 7-S, yakni: Strategi, Struktur, System, Staff, Skill, Style, dan Share Value.


Lantas, belum adakah perangkat peraturan perundang-undangan yang mengatur sedemikian rupa sehingga terselenggaranya pelayanan publik yang berkualitas? Undang-Undang tentang pelayanan publik memang belum ada. Rancangan Undang-Undangnya, meski tak jelas kabarnya, sejak 2005 sempat dibahas di gedung parlemen. Namun, bukan berarti aturan perundangan lainnya tidak menyentuh persoalan pelayanan publik berkualitas. Kompetensi pelayanan prima yang diberikan oleh aparatur pemerintahan kepada masyarakat, selain dapat dilihat dalam keputusan Menpan nomor 81/1995, juga dipertegas dalam instruksi Presiden nomor 1/1995 tentang peningkatan kualitas aparatur pemerintah kepada masyarakat.

Keputusan Menpan Nomor : 81/1995 menegaskan bahwa pelayanan publik yang berkualitas jelas-jelas mengharuskan adanya sendi-sendi kesederhanaan (terkait prosedur & tata cara pelayanan yang mudah, lancar, cepat dan tidak berbelit-belit, serta mudah difahami dan dilaksanakan, Kejelasan dan kepastian (menyangkut prosedur, persyaratan, rincian biaya), keamanan (mampu memberikan keamanan dan kenyamanan serta kepastian hukum), keterbukaan (tarif dan jenis pelayanan wajib disampaikan terbuka kepada publik), efisiensi, ekonomis (pengenaan biaya pelayanan umum ditetapkan secara wajar sesuai ketentuan yang berlaku), keadilan yang merata, dan ketepatan waktu. Jadi, kualitas pelayanan publik di negeri ini tidak dapat diabaikan lagi, bahkan hendaknya sedapat mungkin disesuaikan dengan tuntutan era globalisasi yang kian menjelang.

Yang jelas, konsep pelayanan publik juga menyangkut memberikan perlindungan keselamatan terhadap masyarakat luas. Sedangkan reward & punishment dirasa perlu tidak hanya kepada birokrasi atau pegawai pemerintah di sektor pelayanan publik. Reward & punishment juga perlu diterapkan kepada masyarakat luas itu sendiri.

Di Jepang, misalnya, punishment diberikan kepada sebuah pengembang hotel meah dan berbintang dan sang arsitek perancang bangunan hotel tersebut. Sang arsitek akhirnya diganjar hukuman lima tahun penjara gara-gara rancangan bangunanya tidak memperhatikan aturan bangunan di Jepang yang mensyaratkan memenuhi perlindungan dan tahan terhadap gempa. Sebuah bencana yang kerapkali melanda negeri sakura tersebut.

Bagaimana dengan Indonesia atau setidaknya di Jakarta? Sudah saatnya punishment kepada masyarakat pun harus ditegakkan. Tidak sedikit renovasi ataupun pendirian bangunan pencakar langit yang mengakibatkan penyempitan aliran sungai, tidak memperhatikan faktor keselamatan dan sejenisnya. Tidak sedikit pula aksi masyarakat luas yang membuang sampah sembarangan, menghuni bantaran kali, dan lain sebagainya. Dengan reward & punishment yang seimbang terhadap birokrat dan masyarakat, kedisplinan keduanya setidaknya akan selalu terjaga.

Comments :

0 komentar to “Pelayanan Publik Berkualitas, Mungkinkah?”